“Minum
Kuku Bima Energi, roso.” Itu kata-kata terkenal Mbah Maridjan, yang tiap hari saya
lihat di televisi, sebelum Gunung Merapi erupsi pertama, dan menewaskannya, akhir
Oktober 2010. Lereng Gunung Merapi semakin terkenal sejak dibuka tempat-tempat
wisata. Saya tertarik karena pengelola menyediakan mobil jip. Saya membayangkan
tentara-tentara zaman perang, mengendarai mobil jip, sebagaimana saya lihat di
film-film. Tapi saya harus berombongan pergi ke sana. Teman-teman tertarik
setiap kali saya bercerita wisata tersebut. Tapi rencana tinggal rencana, kami
punya kesibukan masing-masing, dan tak punya kata sepakat.
Setelah menunggu sekian lama, keinginan itu tersampaikan, 25 Desember, saya bersama tiga keponakan pergi ke Sleman, Yogyakarta, ke tempat wisata tersebut. Satu mobil jip berisi empat penumpang, dan sopir, sekaligus sebagai pemandu wisata. Waktu menunjuk pukul 12.30. Sebelum berangkat, di sebuah kedai, kami makan siang. Keponakan-keponakan protes, tidak ada makanan kekinian; mereka pergi ke supermarket terdekat. Saya menikmati makanan daerah: sepiring ketupat tahu: tahu putih digoreng, ketupat, tauge, kol, sambal kacang manis, daun seledri, topping: bawang goreng yang krispi, ditambah kerupuk di piring berbeda.
Wisata
ini menawarkan paket 1, paling murah, Rp400.000,00, paket 2 Rp500,000,00,
begitu seterusnya, hingga Rp1.000.000,00 lebih, bergantung sedikit banyak
tempat wisata yang dikunjungi. Setiap pengendara
jip wajib memakai topi tentara, yang disedikan pengelola, dan pelindung air
seperti jas hujan, sekali pakai; kami membelinya Rp10.000,00, dari penjaja di
sekitar lokasi. Setengah jam berikutnya kami berangkat. Petualangan dimulai.
Mobil melintas di jalan beraspal dengan kanan kiri pepohonan. Hawa dingin merasuki kulit, tertutup oleh kebahagiaan kami naik kendaraan tak biasa. Suasana semakin seru oleh suara knalpot brong mobil. Sebagian besar pengguna jalan adalah mobil-mobil Jip Wisata Merapi. Saya pikir hanya satu penyedia sewa Jip Wisata Merapi. Di pinggir jalan banyak saya temui pos-pos sewa Jip Wisata Merapi.
Wisata
pertama kami diajak ke Museum Mini Sisa Hartaku. Museum ini rumah pemberian
warga. Sesuai namanya, museum menyimpan barang-barang tersisa, pada erupsi
kedua, awal November 2010: jam dinding, perkakas-perkakas dapur, televisi,
seperangkat gamelan, kerangka tulang sapi dan ayam, dll. Ada juga foto-foto terpampang
di dinding seputar erupsi Merapi: para korban dan keadaan Gunung Merapi saat
mengeluarkan awan panas dan lahar. Kami terenyuh melihat foto wanita lansia, bersama
wanita muda yang menggendong anaknya. Wajah mereka bertabur debu. Mereka, dan
penduduk sekitar tidak menyangka erupsi terjadi pada jarak 20 km dari Gunung
Merapi, ketika tengah malam, tiba-tiba, genting rumah mereka seperti dilempari
kerikil, dan itu material dari Gunung Merapi, berbeda rumah Mbah Maridjan
berjarak 5 km.
“Tapi tidak boleh ambil foto!” larang
Mas Sopir ketika saya akan mengambil foto gunung Merapi memuntahkan lahar.
“Memang kenapa?” tanya keponakan.
Saya pikir akan terjadi semacam peristiwa mistis, wisatwan yang mengambil
gambar dari museum itu.
“Maksud saya, foto itu jangan
diambil terus dibawa pulang ke rumah,” jelasnya. Kami langsung tertawa. Ia
menghibur kami yang larut kesedihan.
Kami puas melihat semua memori di
museum; mobil jip kembali bergerak. Kami dibawa ke The Lost World Park. Taman itu
dibangun untuk menyejahterakan penduduk sekitar. Setelah erupsi mereka
kehilangan mata pencarian. Selain makanan daerah, mereka menjual makanan
kekinian seperti es krim. Ada juga persewaan kain, kebaya lurik, dan selendang
jumputan, untuk berfoto, dan permainan flying fox.
Wisata
berlanjut ke Bunker Kaliadem. Bunker ini dibangun untuk menyelamatkan penduduk
dari erupsi. Bunker itu cukup ditempati 20 orang. Dari arah luar, sebelah kiri
pintu masuk, tempat tabung gas, sebelah kanan kamar mandi.
“Tapi bunker itu tak berfungsi, bisa
dimasuki material erupsi. Dua relawan meninggal di dalam. Ada yang nyebur ke bak
mandi. Tapi yang namanya erupsi, air juga panas. Tubuhnya seperti direbus,”
cerita Mas Sopir.
Kami sedih dan ngeri mendengarnya.
Dua
setengah jam terlewat. Kami kembali ke pos, bersama Jip Wisata Merapi, laksana
tentara-tentara menang perang.
@@@