Iis Soekandar: 2025

Kamis, 27 Maret 2025

Tak Memburu Waktu

                                                                                  

Posko penuh orang-orang. Posko keamanan di sebelah kiri dekat pintu gerbang masjid itu terbangun dari tenda terbuka. Saya mudah melihat kegiatannya dari jauh. Satu per satu orang keluar sambil membawa minyak goreng kemasan plastik dengan wajah berseri. Kemudian datang yang lain dan mengantre, begitu seterusnya. Sebagian dari mereka jemaah pengajian; Sebagian lagi orang-orang luar.

            “Tadi sebelum pengajian, ada pengumuman, tapi aku nggak ngeh,” jawab teman yang duduk di sebelah saya ketika saya tanya kegiatan di posko.

            “Jenengan tidak ke sana?” tanya saya sekaligus mencari teman.

            “Nanti saja setelah Asar,” jawabnya kukuh, sambil manggut-manggut mendengarkan keterangan Pak Ustaz.

            Hati saya bergejolak. Apakah barangnya masih ada jika kami menunggu Asar? Pasti harga minyak goreng itu murah. Mungkin otoritas setempat atau pihak tertentu memberi kompensasi kepada masyarakat, yang dirugikan salah satu produsen minyak goreng, yang mengurangi takaran.   

            Seorang wanita bertubuh tinggi dan tegar datang, lalu bersalaman kepada orang-orang di dekatnya. Ia tiba di masjid pada separuh waktu pengajian. Orang-orang membagikan takjil jelang buka puasa. Ia membagikan takjil siang hari, terlepas yang diberi jemaah pengajian. Saya pernah diberinya kurma 5 buah dalam bungkus mika.

            Saya datangi posko, di tengah terik matahari, pada keterangan Pak Ustaz berikutnya. Cerita Nabi Yusuf dibuang saudaranya, dan kisah-kisah menarik setelah itu, terdengar jelas melalui pelantang suara.

            Seperti mendapat hadiah lebaran ketika saya mendapatkan satu liter minyak goreng secara gratis. Saya hanya diminta mengisi kuesioner, seputar penggunaan uang digital. Teman saya sedih, selesai Asar, posko sepi, tidak ada lagi kegiatan pemberian minyak goreng gratis.

            Insya Allah, dua atau tiga hari lagi Lebaran tiba. Izinkah saya mengucapkan Hari Raya Idulfitri, kepada teman-teman yang merayakannya, dan, maaf lahir batin.

@@@


Kamis, 20 Maret 2025

Apa Ini?

                                                                                                

            Pak Ustaz menerjemahkan dan memberi keterangan-keterangan ayat-ayat suci yang dilantunkan. Keterangan-keterangan itu, selalu dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Ia akan kembali membacakan ayat-atat suci lalu menerjemahkan dan memberi keterangan-keterangan, demikian seterusnya hingga waktu jelang Asar. Dan menurut jadwal pengurus, pengajian dan khataman akan dilakukan tanggal 25 Ramadan.

            Langit mendung. Angin bertiup sejuk. Suara kendaraan-kendaraan terdengar ramai, dari para pembeli yang memenuhi kebutuhan Lebaran. Mereka berbelanja di pertokoan seberang jalan sisi kanan masjid.

Sebagian jemaah mendengarkan. Sebagian lain mencatat. Sebagian lagi mengantuk. Pandangan saya menyapu jemaah yang duduk di tengah, dan di pojok-pojok serambi masjid. Saya tak menemui pedagang keripik. Saya suka keripik tumpi(keripik kacang hijau). Mungkinkah pedagangnya tidak berjualan? Atau ia duduk di masjid bagian dalam? Saya duduk di undakan. Gerak saya leluasa.

Pedagang keripik menjual dagangannya sambil lalu. Ia duduk santai di tempat-tempat strategis. Ia menawarkan dagangannya di dalam tas anyaman, kepada orang-orang yang lalu lalang di depannya.   

Berbeda dengan pedagang-pedagang makanan lain, mereka menemui para calon pembelinya satu per satu. Ada pedagang tetap menawari walaupun saya tidak pernah membeli karena tak suka dagangannya.

Ada juga pedagang datang di tengah pengajian berlangsung. Ia duduk sebentar, sambil mencari-cari orang-orang yang pernah membeli dagangannya. Setelah menemukannya, ia tak segan nimbrung dan duduk di sebelah orang tersebut.

Saya harus menunda makan keripik jika tak menemukan pedagangnya. Karena kesibukan malam, saya tak punya waktu menikmati keripik. Saya tadarus bersama teman-teman setelah tarawih. Dan tadarus 30 juz selesai pertengahan Ramadan. Saya berjanji akan membeli keripik setelah tadarus selesai.

            Kami menutup Al-Qur’an. Pak Ustaz baru saja mengakhiri pengajian dengan doa. Tak lama kemudian…

            Pluk!

            “Apa ini?” tanya saya kaget.

            Saya belum sempat mengucapkan terima kasih kepada teman yang menjatuhkan tas kresek di pangkuan saya. Ia gegas pergi, tak mau tersalip mendung menjatuhkan airnya. Dan, sebahagia mendapatkan baju Lebaran, saat saya mengetahui isinya: sebungkus keripik tumpi.

            Suara azan terdengar; saya segera memenuhi panggilannya.

@@@


Kamis, 13 Maret 2025

Langit Terang di Ujung Sana

                                                                                         

Setelah setengah hari beraktivitas, sambil menahan lapar dan dahaga, tidur siang adalah langkah tepat. Tapi pengajian dimulai sekitar pukul satu siang. Pergi tidur dan pergi mengaji, berkelindan di benak saya.

Jika pertentangan dua hal itu merasuki pikiran, saya segera melintaskan dua pedagang yang biasa hadir dalam pengajian itu. Dan saya pun bergegas pergi mengaji.

Berbeda dari pedagang-pedagang lain yang menjual makanan, pedagang balon rajin menyambangi tempat pengajian. Ia menawarkan dagangannya kepada jemaah yang mengajak anak-anak kecil. Ia terkadang datang dua kali dalam durasi pengajian hampir dua jam. Padahal, jemaah yang hadir dan anak-anak kecil yang diajak tak berbeda. Sewajarnya, orang membeli mainan yang sama satu kali. Tapi ia lalu lalang, ke jemaah wanita, lalu ke jemaah lelaki.

                                                                                         

Satu lagi wanita lansia pedagang asongan yang menjual bermacam-macam jepit rambut, karet rambut, cotton bud, serabut pencuci piring, tutup termos, dll. Ketika jalan tanpa beban, saya yakin kakinya terseok-seok. Apalagi ia harus menarik gerobak minimalisnya. Gerobak beroda dua itu disangganya dengan kotak bekas wadah es krim agar berdiri ketika ia duduk bergabung dengan jemaah. Ia beristirahat sambil mendengarkan bacaan Al-Qur’an diselingi ceramah dari Pak Ustaz. Sesekali kantuk menyetainya.

Tak seperti para pedagang makanan yang laris manis, saya pernah duduk di sampingnya hingga pengajian selesai, tak satu pun pembeli membeli dagangannya.

“Setiap hari pasti ada yang beli, ya, Bu?” tanya saya berempati, bagaimana dia makan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain.

“Yah, disyukuri saja,” jawabnya senyum-senyum, tak mau menjelaskan detail. Kami berbincang selesai salat Asar. Sesekali kami menyalami jemaah, yang menuruni undakan masjid, untuk pulang. 

Lalu dia bercerita tentang anak-anaknya yang tak pernah menyantuni. Ia tinggal di sebuah rumah yang tidak lagi ditempati pemiliknya. Sebetulnya ia juga menjual beberapa mainan anak-anak. Tapi modalnya tak kembali karena uangnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Saya manggut-manggut dan mendoakan dalam hati agar ia diberi rezeki sehingga dagangannya tetap ada. Ketika saya bertanya apakah ia juga berbuka puasa di masjid ini, saya tersadar mendengar jawarabannya. Ia berbuka di masjid lingkungan tempat tinggalnya. Ia tidak berani pulang malam. Ia butuh waktu lama berjalan dari masjid ke rumahnya, sambil menarik gerobak minimalisnya.

Satu orang bersandar di pilar serambi masjid dengan mata terpejam. Dua lainnya tergeletak di lantai. Aroma sedap makanan dari penjaja makanan di alun-alun melintas. Daun-daun kemboja bergerak-gerak saat angin bertiup. Kami berpisah. Pedagang asongan menarik gerobaknya; jalannya satu langkah satu langkah. Di antara perjalanan pulang, saya melihat langit terang di ujung sana.

@@@


Kamis, 06 Maret 2025

Impas

            Puasa Ramadan identik cuaca panas. Dahaga adalah salah ujian yang harus dilalui setiap Muslim, begitu terasa. Namun, Ramadan tahun ini bertepatan bulan Maret, yang menurut penanggalan, hujan rajin menyambangi.

            Pengajian selesai. Kami menuntaskan dengan salat Asar di masjid. Saya bersama jemaah berburu takjil. Saya mencari ketan biru, makanan khas Semarang, terbuat dari beras ketan berwarna biru, di atasnya diberi enten-enten. Saya berkeliling alun-alun dan sekitarnya, membaca satu per satu tulisan makanan di depan kedai-kedai. Pedagang ketan biru biasanya juga menjual lontong opor.

            “Wah, di mana ya. Saya nggak lihat tuh, penjual ketan biru,” jawab penjual aneka jus buah yang saya tanya. Saya tinggalkan wanita itu bersama suara berisik alat jus yang sedang melumat jambu biji merah.

            Tak lama air dari langit turun rinai. Saya gegas pulang. Tidak bijaksana jika saya terus memburunya di tempat-tempat lain.  Saya harus menjaga kesehatan. Demi mengurangi rasa kecewa, saya lewati sore-sore bersama buku bacaan.

            Saya pikir buku ini hanya membahas kuliner Semarang. Istilah Semarangan mengacu kuliner Semarang dan daerah-daerah pantai utara Jawa Tengah: Batang, Demak, Kudus, Jepara, Pati, Lasem, Grobogan, dan Purwodadi. 

            Kuliner akulturasi masyarakat Tionghoa, Islam, Hindu, merupakan bagian dari makanan keseharian masyarakat Semarangan. Bangsa-bangsa asing itu datang di Indonesia untuk berdagang.

            Di Semarang, lumpia, bakso, lontong cap go meh, bolang baling adalah contoh akulturasi masyarakat Tionghoa, juga swike khas Purwodadi. Begitu pun bacang: makanan berbahan beras ketan yang diberi isian daging, dan dibungkus daun bambu, sangat mudah ditemui di Lasem pada hari-hari biasa. Sedangkan kuliner Jepara mendapat pengaruh dari Tionghoa, Arab, dan Belanda. Jepara dikenal sebagai kota pelabuhan yang sering disinggahi kapal-kapal asing.

            Kuliner Demak dan Kudus dipengaruhi agama Hindu. Masyarakatnya tidak makan daging sapi, melainkan daging kerbau.

            Selain pengaruh negara-negara asing, kuliner Semarangan juga dipengaruhi kondisi alam. Potensi Semarangan adalah padi, ubi, jagung, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau.

            Getuk runting adalah kudapan khas Pati, terbuat dari ubi kayu, di atasnya ditaburi serudeng. Sedangkan olahan jagung, seperti nasi jagung dan jagung goreng, banyak dijumpai di Grobongan.

            Beberapa daerah Semarangan mempunyai gunung dan pengunungan sehingga potensi produksi buah dan sayur mencukupi.

            Buku ini juga dilengkapi resep kuliner Semarangan dan gambar-gambar makanan dan minuman yang menarik.

            Mendapatkan pengetahuan kuliner Semarangan, impas bagi saya, sebagai kompensasi tak menemui ketan biru.

@@@

 

Kamis, 27 Februari 2025

Tertambat Niat

       Ada keraguan ketika saya akan membeli makanan-makanan kesukaan pada tradisi dugderan. Pedagang-pedagangnya berasal dari luar kota. Harga barang-barang naik, kelangkaaan gas melon, apakah mereka berjualan pada momen tahunan itu? 

                                                     

       Dugderan adalah tradisi masyarakat Semarang menyambut puasa Ramadan. Dugderan diadakan selama dua minggu sebelumnya. Para pedagang makanan daerah dan makanan kekinian, para pedagang mainan seperti aneka celengan dari gerabah, menjajakan dagangannya sekitar alun-alun, depan Masjid Agung Semarang. Ada juga wahana permainan kora-kora, tong setan, ombak banyu, dll. 

                                                      

               Senja berganti malam. Di depan masjid, tidak ada satu pun penjual makanan. Tempat itu beralih fungsi mejadi tempat parkir kendaraan. Biasanya pedagang tahu aci menjual dagagannya di sana.

            Saya masuk arena dugderan, menyusuri jalanan depan alun-alun, menembus jubelan pengunjung. Aroma sedap bakaran seafood melintas hidung. Suara keriangan pengunjung, otok-otok dari mainan kapal-kapalan, dan musik dari lapak-lapak makanan, beradu. 

                                                   

           Sebungah musik dari lagu energik ketika saya melihat angkringan bertuliskan makanan kesukaan. Di belakangnya, seorang lelaki sibuk memasukkan aneka bahan-bahan makanan dalam wajan kecil. Ia duduk di dingklik. Saya membeli seporsi. Tidak ada pembeli lain; berporsi-porsi kerak telur dalam bungkus-bungkus kertas coklat, menggunung. Tak lama makanan matang.

            “Berapa, Pak?”

            “Dua puluh lima ribu saja.”

            Lalu ia memberi kembalian Rp25.000,00 sambil mengeluarkan unek-unek, bahwa, harga bahan-bahan makanan naik, banyak pesaing, untung sedikit yang penting laku, demi dugderan. 

            Saya melanjutkan langkah, menembus barisan pengunjung yang semakin lama semakin padat. Di ujung, tak ada penjual makanan, kecuali aneka wahana permainan. Mungin saya terlewat. Saya pulang, akan melanjutkan petualangan, esok hari.

@@@

            Waktu berpacu dengan hujan. Dua hari berikutnya saya berkesempatan mengunjungi dugderan. Sore muram; guntur menggema. Saya teringat, tempo hari belum masuk ke alun-alun. Jalanan lengang. Saya menoleh ke kanan ke kiri melihat para pedagang menyiapkan dagangan-dagangannya. Saya berdiri mematung di depan  sebuah kedai makanan. Mata saya kedip-kedipkan. Saya tidak salah. 

                                                         

               “Kirain nggak ada pedagang tahu aci,” ungkap saya setengah berteriak sambil senyum-senyum begitu mendekat ke panjualnya.

            “Ada kok,” jawab pedagangnya, seorang laki-laki, juga senang. Ia dan istrinya bergegas menyiapkan dagangannya untuk dijajakan. Istrinya membagi dua setiap tahu di meja racik, lalu memberinya aci di bagian tengahnya: adonan berbahan tepung kanji yang diberi bumbu. Tahu-tahu itu dikirm dari Tegal oleh bosnya. Begitu pun acinya diberi bumbu khas oleh bosnya.

            Seporsi tahu aci seharga Rp20.000,00 telah dibungkus. Saya bersiap menyantapnya di rumah.

@@@






 

Kamis, 20 Februari 2025

Masjid Klenteng

     Februari menyisakan merah, ketika saya melintas di Jalan Gang Warung, kawasan pecinan Semarang. Warna itu menyatu dalam lampion-lampion yang terpajang di pertokoan, untuk menyambut imlek, beberapa waktu lalu. Warna merah lain membingungkan saya, saat saya bertemu teman di pasar. Kami berdiri di depan lapak pedagang yang sama. Saya membeli nasi jagung; ia membeli gendar pecel. Ia bercerita bahwa Bu Nyai atau pimpinan guru mengaji kami, akan mengadakan acara.

            “Kita akan berkunjung ke Masjid Klenteng.”

            “Masjid Klenteng? Bukankah itu dua tempat ibadah berbeda? Apa mungkin satu tempat untuk sembayang dua umat?”

            Ia mengedikkan bahu. Kami penasaran. Lalu kami berpisah untuk belanja lain.

            Kelenteng identik warna merah. Apakah kelenteng itu telah berubah menjadi masjid, atau sebaliknya, dan tetap berwarna merah?

                                                                              

       Kebingungan saya terjawab pada hari Minggu. Angkutan membawa rombongan di sebuah bangunan, didominasi warna merah. Letaknya di pinggir jalan, memudahkan  pengunjung luar kota menemukan alamatnya. Langit cerah menaungi kami sepanjang perjalanan satu setengah jam, Semarang-Salatiga. Begitu masuk halaman, pohon rambutan dan pohon langsat, yang sedang berbuah, menyambut. Angin bertiup sejuk, menemani istirahat kami.

            Setelah beribadah, di dalam masjid, tak lupa kami mendoakan Pak Yusuf Hidatullah. Ia adalah mualaf Tionghoa dan pendiri masjid, dan menamainya Masjid Klenteng. Sejak tahun 2020, masjid itu berpindah pemilik, lalu dibangun pondok pesantren.

            Masjid itu tidak luas. Bagian depan ada mihrab atau tempat imam memimpin salat berjamaah; bagian belakang tempat menyimpan kitab-kitab suci. Di sebelah masjid ada ruang terbuka, untuk menampung, jika jamaah melebihi kapasitas.

                                                                                  

           Sebelah kanan masjid, pondok pesantren dua lantai, untuk para santri putra. Para santri putri berada di belakang masjid. Bangunan pondok pesantren sedang diperbaiki ketika kami berkunjung. Material-material bangunan terlihat di depan pintu gerbang pondok.

            “Total jumlah santri sekitar seratusan. Mayoritas sih anak-anak kuliah. Hanya satu dua yang masih SMA,” jawab santri putri ketika saya bertanya jumlah semua santri.

            Saya manggut-manggut. Lalu ia segera pergi untuk membeli keperluan pribadi.

            Setelah puas mengunjungi Masjid Klenteng, termasuk mengetahui asal usul namanya, kami melanjutkan perjalanan.

@@@



 

Kamis, 13 Februari 2025

Nasi Megono

Waktu menunjuk pukul 5.30. Langit mendung; para pedagang berpayung; saya bingung. Saya baru tersadar, penjual nasi megono tidak mangkal. Ke mana saya harus mencarinya?

Saya putuskan menunggu di samping penjual nasi jagung langganan. Dua hari sebelumnya saya bertemu teman. Kami sama-sama keluar masjid selesai salat Subuh. Tiba-tiba ia membicarakan penjual nasi megono.

            “Di undakan ini, aku pernah bertemu penjual nasi megono. Aku langsung beli. Sayang, tidak tiap hari dia lewat sini,” keluhnya. Ia bercerita bahwa beberapa teman yang waktu itu membersamainya, juga membeli nasi megono. Mungkin penggemar nasi megono banyak. Kami menyayangkan penjualnya tidak mangkal di pasar, agar pembelinya tidak kesulitan mencarinya.

            Dari perbicangan itu, saya ingin makan sarapan nasi megono.

            “Mungkin penjualnya libur. Memang dia tidak tiap hari lewat. Siapa tahu dia sekarang jualan di pasar lain,” jelas pedagang nasi jagung, setelah saya menunggu setengah jam. Akhirnya saya pulang, setelah membeli nasi jagung, dengan pelengkap: gudangan dan rempeyek ikan asin.

            Pagi berikutnya, saya menunggu lagi. Saya kecewa, karena kembali pulang menenteng sebungkus nasi jagung. Hal itu berlangsung hingga empat hari.

            Tinggal dekat pasar, dan di tengah masyarakat urban, saya banyak menikmati alternatif menu sarapan, di antaranya nasi megono. Berawal ketika saya membeli wortel, seorang lelaki menyodorkan sebuah bungkusan. Ia mengatakan bahwa ia menjual nasi megono seharga Rp5.000,00. Saya penasaran. Saya membelinya. Kalaupun saat itu saya sudah membeli sarapan, saya berikan orang lain. Saya beruntung dapat menikmati makanan khas daerah.

            Nasi megono adalah makanan khas Pekalongan. Ciri khas nasi megono, selain nasi putih, bersayur nangka muda yang dicacah, berbumbu dan berempah tertentu; rasanya gurih. Lauknya ikan asin. Nasinya pulen dan hangat, cocok disantap saat hawa dingin.

            Pekan berikutnya, saya kembali bergerilya. Penjual nasi jagung langganan sedang libur. Saya menunggu di depan supermarket. Seperti mendapati panas matahari di musim hujan, saya buru-buru menghampiri seorang lelaki. Kedua tangannya membawa wadah plastik, berisi bungkusan-bungkusan dagangannya.

            “Tidak jualan tiap hari ya, Pak? Kemarin tak tunggu gak lewat.”

            “Kemarin kan hari Minggu, aku mengaji…” jelasnya. Lalu ia mengatakan bahwa tidak setiap hari lewat di satu pasar. Di samping itu, beberapa hari ia tidak enak badan, dan libur berjualan. Apapun alasannya, saya segera membayar, dan tidak sabar menikmati nasi megono.

@@@


 

Kamis, 06 Februari 2025

Minimalis

Buku ini saya ambil dari rak, tanpa tujuan tertentu, lalu segera pergi, demi udara dingin, padahal sepanjang perjalanan menuju perpustakaan, kaus tebal tak berimbas menghangatkan tubuh. Suhu ruang perpusatakaan punya standar tertentu agar kertas-kertas bukunya tidak sobek atau berjamur.

            Sekilas judulnya bersinggungan dengan kondisi tempat tinggal saya. Alih-alih saya bisa menanam pohon rambutan, sejengkal tanah tidak ada di halaman rumah.

Dua minggu lalu saya menyambangi teman. Rumahnya di pinggir kota, daerah Gunung Pati. Ia menanam satu pohon rambutan dan tanaman-tanaman hias di halaman rumahnya. Saya bertanya mengapa tidak ditebaskan pohon itu. Dan uang dari penjualannya untuk membeli kebutuhan rumah tangganya.

            “Hanya inilah yang bisa aku bagikan ke teman-temanku,” jawabnya sambil memisahkan buah-buah rambutan dari tangkainya, lalu memasukkannya ke kantung kresek, yang disiapkan untuk saya bawa pulang. Kami duduk di lantai teras; saya membantunya. Saya tidak berhenti makan rambutan. Dagingnya tebal, ngelotok, dan manis. Sebelumnya saya dan teman-teman lain sering kecewa membeli rambutan di pasar. Terkadang rambutan-rambutan itu masam, atau tidak ngelotok. Sejak itu, setiap panen, ia senang membagikan buah-buah rambutannya kepada teman-temannya.

            Waktu menunjuk pukul empat sore ketika saya mulai membaca buku Urban Farming, sambil ditemani ‘bakpao ijo’ yang sedang viral. Orang menanam tanaman tidak harus di tanah  berhektar-hektar, sebagaimana Pak Tani dan Bu Tani. Daerah perkotaan dengan rumah-rumah berimpitan satu sama lain, orang bisa bercocok tanam, yaitu dengan istilah urban farming atau menanam di lahan terbatas.

Selain tanaman hias, sayuran dan buah-buahan juga bisa ditanam di lahan terbatas: bayam, kangkung, sawi, selada, tomat, cabai, stroberi, kacang-kacangan, paprika, melon, anggur.

Orang mengonsumsi sayuran dan buah dari tanaman sendiri, dapat mengurangi efek degradasi zat gizi. Menurut sebuah studi, sekitar 30-50% zat pada buah dan sayur akan hilang setelah 5-10 hari ditransportasikan dari kebun sampai ke konsumen.

Ada tiga teknik penanaman di lahan terbatas. Pertama, penanaman menggunakan media konvensional: tanah. Tempat tanamnya pot, bambu, atau wadah tidak terpakai. Kedua, penanaman menggunakan media air bernutrisi, yang disebut hidroponik. Ketiga, penggabungan menanam tanaman dan memelihara ikan, yang disebut akuaponik. Teknik ini merupakan simbiosis mutualisma: tanaman memanfaatkan unsur hara dari kotoran ikan; ikan mendapatkan suplai oksigen dari tanaman. Tanaman yang umum dibudidayakan: cabai, tomat, sawi, bayam, dan kangkung; ikan yang umum dipelihara: nila, lele, mas, patin, gurami, tawes.

Setiap teknik diberi gambar dan keterangan secara jelas. Pembaca mudah mempraktikkannya.

Selesai membaca buku, keesokan hari saya berkunjung ke rumah teman. Saat itu wilayah RT-nya, diwakili beberapa warga, mempraktikkan akuaponik. Saya tanyakan apakah lele-lele di dalam ember tumbuh hingga besar, dan kangkung-kangkung yang ditanaman di lubang-lubang tutup ember itu bisa dikunsumsi.

“Berhasil, kok. Sekarang usaha itu diteruskan warga. Setiap panen ikan lele dan kangkung, dia woro-woro.”

Ia bercerita penuh semangat. Terlintas dalam benak saya sebotol air mineral di dalam kulkas. Kelak botolnya akan saya gunakan menanam, mungkin cabai.

@@@


 

Kamis, 23 Januari 2025

Teh Tarim

Pertama kali saya mendengar teh tarim ketika ditanya teman, apakah saya pernah merasakan teh tarim. Saya jawab, alih-alih merasakan, mendengar naman teh tarim baru sekali itu. Teman saya terkekeh; ia juga baru mendengar namanya. Ia dikasih tahu temannya. Nama teh tarim lewat dari mulut ke mulut, entah siapa pertama mengembuskannya, bahkan merasakannya.

Saya browsing. Teh tarim berasal dari Kota Tarim, Yaman. Saya menghubungkan tamasya ke Timur Tengah. Yaman salah satu negara Timur Tengah. Sebagaimana oleh-oleh khas Timur Tengah, orang membeli teh tarim setelah berkunjung ke sana.

Saya bersama teman atau tetangga suka menyambangi kenalan-kenalan yang pulang dari Timur Tengah. Kami senang mendengarkan pengalaman berkesan selama mereka berada di negeri orang, sambil menikmati makanan-makanan dan minuman khas yang dihidangkan.

Malam bertabur bintang ketika saya dan teman, mengunjungi seorang kenalan. Angin bertiup sejuk. Sesejuk suasana di dalam rumah. Ibu kenalan kami baru saja pulang dari Timur Tengah. Ia beramah tamah dengan dua wanita sebaya, duduk lesehan di atas karpet. Mereka menikmati kacang arab, kismis, kurma, dll, juga air zam-sam dalam gelas sloki. Kenalan kami keluar, menemui. Ia mempersilakan kami menikmati makanan-makanan khas itu. Setelah menuangkan air zam-zam, ia juga menuangkan minuman dari poci. Sejak masuk rumah, hati saya menebak, kali ini keinginan saya tersampaikan.

“Ini teh tarim, kan?” tanya saya. Suara saya menyita perhatian mereka.

“Teh tarim?” ulang kenalan setelah menyodorkan dua gelas teh hangat. Dia menjelaskan bahwa minuman teh itu dari merek yang sehari-hari dijual di warung-warung. Ibunya tidak mampir ke Yaman. Mereka suka minum teh hangat saat bertemu. Mereka tertawa; teman saya meledek; wajah saya memanas.

Saya terus penasaran, walau tersimpan di hati. Saya tak ingin kejadian memalukan itu terulang.

Untuk kesekian kali, saya berkunjung ke kenalan, bersama para tetangga. Beberapa hari sebelumnya ia dan suaminya pulang dari Timur Tengah. Kami disambut dengan aneka hidangan khas, di atas karpet kombinasi merah-putih. Tak lama setelah memberikan air zam-zam dalam gelas-gelas sloki, ia menuangkan munuman dari poci dalam wadah-wadah plastik.

“Silakan dicicipi teh tarimnya. Itu teh khas dari Yaman!” pinta tuan rumah. Tak ingin mengulang kesalahan sama, saya bertanya kepada tetangga yang duduk di sebelah saya. Hati saya langsung nyes, begitu ia menjawab bahwa tuan rumah mengatakan teh tarim. Saya cicipi sedikit demi sedikit teh tarim. Warnanya cokelat. Tapi tidak ada rasa pahit dan asam, laiknya teh lokal. Teh tarim rasanya segar, seperti ada campuran buah, entah buah apa.

Lalu saya bertanya bagaimana bentuknya. Bentuk teh tarim kepyur. Ia juga menjelaskan, suaminya pernah belajar di Kota Tarim, Yaman. Setelah berkunjung ke Arab Saudi mereka mampir ke Tarim di pondok itu, lalu membeli teh khas.

Sebelum pulang ia membagikan satu tas khusus berisi makanan-makanan khas. Keluar dari rumahnya saya seperti mendapat tambahan uang segepok, bisa merasakan segarnya teh tarim.

@@@


 

Kamis, 09 Januari 2025

Sekilat Mata Melihat

 

               Saya tiba di sebuah masjid, yang biasa saya sambangi, daerah Sidomukti, Kopeng, Kabupaten Semarang, suatu siang, pukul satu. Sambil beristirahat, saya memesan bakso. Tempat ini tidak ada sesuatu istimewa, selain udaranya sejuk dan banyak pepohonan. Saya terhibur, dibanding Semarang yang penuh polusi dan rumah-rumah berimpitan. Alih-alih menanam pohon, warga menanam tanaman-tanaman di pot-pot.

            Selain saya mencari suasana berbeda, tempat ini juga menghilangkan sesak. Pagi hari saya memanggil pedagang keliling, khusus menjual kebutuhan rumah tangga. Saya membeli spons cuci piring.

            “Tiwas manggil gak jadi beli,” kata pedagang memprotes.

            “Aku kan mau beli, Pak. Bapak bilang barangnya habis.”

            Kami berdebat, di antara rintik hujan belum reda. Saya menolak tawarannya membeli pencuci piring lain: serat kawat, atau serabut. Saya pergi, dia menceracau.

            Pesanan bakso datang, bersamaan dengan seorang wanita sekitar 30 tahun turun dari mobil, diiringi wanita lansia berkain kebaya. Dari pintu depan keluar dua anak laki-laki dan seorang lelaki dewasa. Tiga lelaki jalan di depan. Wanita itu mengiringi jalan wanita lansia, selangkah demi selangkah. Bakso segera saya habiskan, untuk segera salat.


           Pengunjung penuh. Saya bertemu lagi wanita 30 tahun dan wanita lansia. Kami berdiri di depan air kocehan: air khusus di depan kamar mandi dan tempat wudu, untuk orang baru datang agar membersihkan kakinya sebelum berwudu.

            “Bunga kertas itu bagus,” ungkap wanita lansia melihat tanaman bunga dari kejauhan. Suaranya putus-putus. Langit terang memantulkan rambut peraknya yang digelung. Rintik hujan baru saja berhenti, menyisakan bau khas. Angin dingin melintas.

            “Itu bunga betulan, Ma,” jawab wanita 30 tahun dengan suara meninggi. “Ini daerah pedesaan. Ngapain nanam tanaman plastik! Memangnya rumah kita?” tambahnya ketus.

            Saya langsung menoleh ke wanita itu. Ia ganti memandang saya. Sorot matanya tajam, seakan mengatakan, “Ngapain lu, orangtua gue!”

            Sekelompok orang keluar dari area wudu dan kamar mandi; saya mempersilakan keduanya.

            Tak ingin berlama-lama berteman dengan udara dingin, selesai salat, saya jalan-jalan ke pasar, tidak jauh dari masjid. Pasar itu selesai direnovasi. Sebagian bangunannya baru dan berganti fungsi. Tempat parkir berada di depan, di alam terbuka, yang dulu ditempati para pedagang buah-buahan, dan beratap. Kini, lapak-lapak buah-buahan menyatu dengan lapak-lapak tanaman, di dalam pasar. 

         Saya belum masuk pasar ketika seorang wanita lansia, berkain kebaya, menghampiri. Kerudungnya kresek hitam totol-totol air. Ia menggendong dunak dan baskom blirik hijau, berisi jualannya, camilan terbuat dari kacang tanah dan gula merah, dalam kantung-kantung plastik.

            “Beli ampyang… beli ampyang…,” pintanya sambil menyodorkan sekantung ampyang. Saya teringat wanita lansia di masjid tadi. Tanpa menawar, saya membeli. Apakah saya terenyuh? Apakah saya iba? Entah. Setelah menerima uang sepuluh ribu, dengan langkah sigap dia pergi untuk menghampiri pembeli lain.

            Saya pulang dengan hati masygul. Pedagang keliling tadi pagi kesal, mungkin karena belum laku satu pun barang dagangannya.

@@@



Jumat, 03 Januari 2025

Tamasya Bersama Jip Wisata Merapi

 

          “Minum Kuku Bima Energi, roso.” Itu kata-kata terkenal Mbah Maridjan, yang tiap hari saya lihat di televisi, sebelum Gunung Merapi erupsi pertama, dan menewaskannya, akhir Oktober 2010. Lereng Gunung Merapi semakin terkenal sejak dibuka tempat-tempat wisata. Saya tertarik karena pengelola menyediakan mobil jip. Saya membayangkan tentara-tentara zaman perang, mengendarai mobil jip, sebagaimana saya lihat di film-film. Tapi saya harus berombongan pergi ke sana. Teman-teman tertarik setiap kali saya bercerita wisata tersebut. Tapi rencana tinggal rencana, kami punya kesibukan masing-masing, dan tak punya kata sepakat.

            Setelah menunggu sekian lama, keinginan itu tersampaikan, 25 Desember, saya bersama tiga keponakan pergi ke Sleman, Yogyakarta, ke tempat wisata tersebut. Satu mobil jip berisi empat penumpang, dan sopir, sekaligus sebagai pemandu wisata. Waktu menunjuk pukul 12.30. Sebelum berangkat, di sebuah kedai, kami makan siang. Keponakan-keponakan protes, tidak ada makanan kekinian; mereka pergi ke supermarket terdekat. Saya menikmati makanan daerah: sepiring ketupat tahu: tahu putih digoreng, ketupat, tauge, kol, sambal kacang manis, daun seledri, topping: bawang goreng yang krispi, ditambah kerupuk di piring berbeda.

Wisata ini menawarkan paket 1, paling murah, Rp400.000,00, paket 2 Rp500,000,00, begitu seterusnya, hingga Rp1.000.000,00 lebih, bergantung sedikit banyak tempat wisata yang dikunjungi. Setiap pengendara jip wajib memakai topi tentara, yang disedikan pengelola, dan pelindung air seperti jas hujan, sekali pakai; kami membelinya Rp10.000,00, dari penjaja di sekitar lokasi. Setengah jam berikutnya kami berangkat. Petualangan dimulai.

Mobil melintas di jalan beraspal dengan kanan kiri pepohonan. Hawa dingin merasuki kulit, tertutup oleh kebahagiaan kami naik kendaraan tak biasa. Suasana semakin seru oleh suara knalpot brong mobil. Sebagian besar pengguna jalan adalah mobil-mobil Jip Wisata Merapi. Saya pikir hanya satu penyedia sewa Jip Wisata Merapi. Di pinggir jalan banyak saya temui pos-pos sewa Jip Wisata Merapi.

            Wisata pertama kami diajak ke Museum Mini Sisa Hartaku. Museum ini rumah pemberian warga. Sesuai namanya, museum menyimpan barang-barang tersisa, pada erupsi kedua, awal November 2010: jam dinding, perkakas-perkakas dapur, televisi, seperangkat gamelan, kerangka tulang sapi dan ayam, dll. Ada juga foto-foto terpampang di dinding seputar erupsi Merapi: para korban dan keadaan Gunung Merapi saat mengeluarkan awan panas dan lahar. Kami terenyuh melihat foto wanita lansia, bersama wanita muda yang menggendong anaknya. Wajah mereka bertabur debu. Mereka, dan penduduk sekitar tidak menyangka erupsi terjadi pada jarak 20 km dari Gunung Merapi, ketika tengah malam, tiba-tiba, genting rumah mereka seperti dilempari kerikil, dan itu material dari Gunung Merapi, berbeda rumah Mbah Maridjan berjarak 5 km.

            “Tapi tidak boleh ambil foto!” larang Mas Sopir ketika saya akan mengambil foto gunung Merapi memuntahkan lahar.

            “Memang kenapa?” tanya keponakan. Saya pikir akan terjadi semacam peristiwa mistis, wisatwan yang mengambil gambar dari museum itu.

            “Maksud saya, foto itu jangan diambil terus dibawa pulang ke rumah,” jelasnya. Kami langsung tertawa. Ia menghibur kami yang larut kesedihan.

            Kami puas melihat semua memori di museum; mobil jip kembali bergerak. Kami dibawa ke The Lost World Park. Taman itu dibangun untuk menyejahterakan penduduk sekitar. Setelah erupsi mereka kehilangan mata pencarian. Selain makanan daerah, mereka menjual makanan kekinian seperti es krim. Ada juga persewaan kain, kebaya lurik, dan selendang jumputan, untuk berfoto, dan permainan flying fox.

            Wisata berlanjut ke Bunker Kaliadem. Bunker ini dibangun untuk menyelamatkan penduduk dari erupsi. Bunker itu cukup ditempati 20 orang. Dari arah luar, sebelah kiri pintu masuk, tempat tabung gas, sebelah kanan kamar mandi.

            “Tapi bunker itu tak berfungsi, bisa dimasuki material erupsi. Dua relawan meninggal di dalam. Ada yang nyebur ke bak mandi. Tapi yang namanya erupsi, air juga panas. Tubuhnya seperti direbus,” cerita Mas Sopir.

            Kami sedih dan ngeri mendengarnya.


               Menuju perjalanan pulang, kami diminta mengenakan jas hujan. Saatnya kami bermain air, dan uji nyali. Ada kubangan, mobil jip digas, lalu… byur, beradu dengan mobil-mobil jip lain, selama beberapa putaran. Badan terbungkus jas hujan basah oleh air lumpur, dari kepala hingga kaki. Begitu permainan selesai, tas ransel yang sejak tadi saya dekap, saya periksa isinya. Syukurlah airnya tidak tembus ke dalam, Hp, kertas-kertas catatan, utuh. Saya lega.

             Dua setengah jam terlewat. Kami kembali ke pos, bersama Jip Wisata Merapi, laksana tentara-tentara menang perang.  

@@@