Iis Soekandar: Salah Sangka

Jumat, 27 Desember 2024

Salah Sangka

Setiap orang mungkin ingin melakukan hal berbeda pada hari libur. Begitu pun saya, Minggu lalu, saat ingin sarapan, kalaupun di luar, tidak di kedai biasanya, sekalian refreshing.

Saya memilih Pujasera Regency. Letaknya di tengah perumahan, daerah Ngesrep Barat, Banyumanik, termasuk Semarang atas. Saya tinggal di Semarang bawah.

Tiba di tempat, saya pikir tempat itu hanya menjajakan makanan, ternyata ada mainan anak-anak, juga penjual buah-buahan dan sayuran.

Aroma lezat serabi menyambut kedatangan saya. Penjual menjajakan makanannya depan pintu masuk bangunan, berkonsep gubuk, namun luas. Penjual lelaki duduk di dingklik sambil menuangkan adonan dalam wajan-wajan kecil, lalu menambahi makanan-makanan sebagai rasa-rasa khusus. Penjual wanita melayani pembeli. Melihat antrean panjang, saya menyerah.

Lalu saya masuk. Kedai-kedai makanan berdiri di pinggir, kursi-kursi pembeli di tengah. Pembeli berjubel lintas etnik, lintas generasi. Beragam makanan dijual: tahu aci, siomai, sup matahari, ayam geprek, swike, kwitau, dll.

Tidak ada satu pun kursi kosong di dalam. Di alam bebas, para pembeli juga memenuhi kursi-kursi dengan diteduhi payung-payung. Setelah jalan ke sana ke mari, memlih antrean minimal, saya memesan siomai. Sambil menuggu makanan pesanan, saya bincang-bincang dengan salah satu penjual.

“Ramai pengunjung, banyak untungnya, Koh?” tanya saya sambil memperhatikan ia meracik bahan-bahan makanan untuk dimasak.

            “Ya nggak juga. Yang penting lumayan,” jawabnya tertawa, memamerkan gigi-gigi putihnya; matanya segaris. Ketika saya menebak bahwa rumahnya seputar pujasera, saya salah.             “Medoho,” jawabnya.

Tentu tidak saya perlihatkan ketidakdugaan saya bahwa ia harus menempuh puluhan kilometer dari rumah menuju pujasera. Maka ia mematok harga berlipat ganda dari harga umum, mungkin juga penjual-penjual makanan lain, belum lagi membayar sewa kedai. Namun secara keseluruhan, pujasera memberi banyak fasilitas, termasuk makan di alam bebas sambil melihat Kota Semarang dari atas. Dengan buka hanya hari Minggu dari jam 07.00 hingga 12.00 para pengunjung rindu ke sana lagi.

Saatnya saya menyantap siomai. Tanpa bermaksud ikut campur urusan orang lain, saya mendengar dialog dua wanita, semeja dengan saya. Usia mereka sekitar 25 tahun. Penampilannya sama-sama keren. Semula saya kira mereka dua sahabat, namun, si rambut pendek memerintah ini itu, si rambut panjang menjalankan perintah tanpa penolakan, dan hubungan itu lebih mirip majikan dengan pembantu.

Di perjalanan pulang, saya senyum-senyum atas semua pengalaman pagi itu. Mungkin saya perlu mengoptimalkan sensorik atau indra (penglihatan, pendengaran, penciuman, dll), agar menyikapi hidup secara tepat, dan, tak salah sangka.

@@@







 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar