Saya terdiam, begitu tiba di bibir jalan setapak, bertanah liat, berundak, menurun tajam, dan sedang musim hujan. Saya pikir Kali (Sungai) Udal Gumuk adalah wisata alam mudah dijangkau, dan landai. Saya memberi kesempatan pengunjung lain untuk jalan mendahului. Barulah setelah keberanian saya terkumpul, dan tak mau merugi telah menempuh jarak hampir empat jam, penuh semangat saya menuruni tangga menuju sungai.
Tempat
wisata ini masih alami, tidak dipungut biaya, hanya mengisi kotak amal
seikhlasnya, dan membayar parkir kendaraan. Ia sebuah sungai, airnya bening,
anak-anak dan orang dewasa bebas mencebur. Pengunjung yang tidak bisa berenang,
menyewa pelampung Rp5.000,00.
Lalu
saya berdiri di jembatan, yang membelah sungai. Angin berkesiur, dinginnya
melintasi kulit tubuh. Langit pukul satu siang laksana enam pagi. Bumi
kehilangan matahari. Pohon durian, pohon pisang, pohon kolang kaling, pohon
nangka, dan entah pohon-pohon apa lagi, merimbuni sisi kiri kanan sungai, di
antara gubuk-gubuk para penjual makanan-makanan dan minuman-minuman instan,
juga gubuk-gubuk untuk para pengunjung. Keriuhan pengunjung anak-anak bermain
air baru saja selesai. Dan, kepenatan saya selama sepekan, mengalir bersama
pusaran air.
Sebagaimana
tempat wisata-tempat wisata yang mengangkat kearifan lokal, para penjual
makanan dan minuman adalah penduduk setempat. Berdasarkan keterangan wanita
berambut keriting sebahu, penjual mi instan yang saya beli, Kali Udal Gumuk
berawal saat pandemi Covid-19. Anak-anak tidak ke sekolah; mereka bermain air
di sungai. Pembicaraan dari mulut ke mulut tentang sungai yang airnya bening,
viral. Pembangunan dilakukan baru-baru ini: undakan bagian bawah, dari
sepanjang kira-kira seratus meter. Ketika saya menjawab pertanyaannya tentang
asal saya, ia tertegun. Tempat itu jauh, ia menyimpan kenangan.
“Empat tahun lalu saya ke Semarang.
Pokonya sebelum pandemi!” tandasnya meyakinkan ingatannya. “Sempat salat di
masjid Semarang,” jelasnya tentang Masjid Agung Semarang.
“Ibu punya saudara di Semarang?”
tanya saya, tak terasa semangkuk mi rebus bersayur kol hampir ludes.
“Saya berombongan, ada undangan
tetangga. Dia punya hajad: mbesan.” Ketika saya menyatakan bahwa tetangganya
itu kini sering ke Semarang karena punya besan orang Semarang, ia menjeda
pembicaraan. Lalu jawabnya, “Dia dan keluarganya sudah pindah ke Semarang, juga
ketiga adiknya. Sekarang rumah mereka kosong,” jelasnya. Rasa kehilangan terlihat dari wajahnya yang sendu;
rasa iri terdengar dari suaranya yang pilu. Mereka sukses menjadi pengusaha
ayam goreng; ia tetap berada di kampung halaman.
Saya menetralisir bahwa ia juga beruntung.
Kali Udal Gumuk ramai, terutama hari libur dan akhir pekan. Banyak orang datang
ke Mungkit, Magelang, termasuk saya. Saya senang ibu itu kembali tersenyum.
Lalu saya membayar mi rebus Rp6.000, dan kembali menaiki undakan, menuju
pulang, penuh semangat.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar