Iis Soekandar: Penuh Semangat

Jumat, 27 Desember 2024

Penuh Semangat

 

            Saya terdiam, begitu tiba di bibir jalan setapak, bertanah liat, berundak, menurun tajam, dan sedang musim hujan. Saya pikir Kali (Sungai) Udal Gumuk adalah wisata alam mudah dijangkau, dan landai. Saya memberi kesempatan pengunjung lain untuk jalan mendahului. Barulah setelah keberanian saya terkumpul, dan tak mau merugi telah menempuh jarak hampir empat jam, penuh semangat saya menuruni tangga menuju sungai.

              Ahirnya saya tiba di bawah, duduk di gubuk dan memesan mi instan.


            Tempat wisata ini masih alami, tidak dipungut biaya, hanya mengisi kotak amal seikhlasnya, dan membayar parkir kendaraan. Ia sebuah sungai, airnya bening, anak-anak dan orang dewasa bebas mencebur. Pengunjung yang tidak bisa berenang, menyewa pelampung Rp5.000,00. 

             Lalu saya berdiri di jembatan, yang membelah sungai. Angin berkesiur, dinginnya melintasi kulit tubuh. Langit pukul satu siang laksana enam pagi. Bumi kehilangan matahari. Pohon durian, pohon pisang, pohon kolang kaling, pohon nangka, dan entah pohon-pohon apa lagi, merimbuni sisi kiri kanan sungai, di antara gubuk-gubuk para penjual makanan-makanan dan minuman-minuman instan, juga gubuk-gubuk untuk para pengunjung. Keriuhan pengunjung anak-anak bermain air baru saja selesai. Dan, kepenatan saya selama sepekan, mengalir bersama pusaran air.   



          Sebagaimana tempat wisata-tempat wisata yang mengangkat kearifan lokal, para penjual makanan dan minuman adalah penduduk setempat. Berdasarkan keterangan wanita berambut keriting sebahu, penjual mi instan yang saya beli, Kali Udal Gumuk berawal saat pandemi Covid-19. Anak-anak tidak ke sekolah; mereka bermain air di sungai. Pembicaraan dari mulut ke mulut tentang sungai yang airnya bening, viral. Pembangunan dilakukan baru-baru ini: undakan bagian bawah, dari sepanjang kira-kira seratus meter. Ketika saya menjawab pertanyaannya tentang asal saya, ia tertegun. Tempat itu jauh, ia menyimpan kenangan.

            “Empat tahun lalu saya ke Semarang. Pokonya sebelum pandemi!” tandasnya meyakinkan ingatannya. “Sempat salat di masjid Semarang,” jelasnya tentang Masjid Agung Semarang.

            “Ibu punya saudara di Semarang?” tanya saya, tak terasa semangkuk mi rebus bersayur kol hampir ludes.

            “Saya berombongan, ada undangan tetangga. Dia punya hajad: mbesan.” Ketika saya menyatakan bahwa tetangganya itu kini sering ke Semarang karena punya besan orang Semarang, ia menjeda pembicaraan. Lalu jawabnya, “Dia dan keluarganya sudah pindah ke Semarang, juga ketiga adiknya. Sekarang rumah mereka kosong,” jelasnya. Rasa  kehilangan terlihat dari wajahnya yang sendu; rasa iri terdengar dari suaranya yang pilu. Mereka sukses menjadi pengusaha ayam goreng; ia tetap berada di kampung halaman.

            Saya menetralisir bahwa ia juga beruntung. Kali Udal Gumuk ramai, terutama hari libur dan akhir pekan. Banyak orang datang ke Mungkit, Magelang, termasuk saya. Saya senang ibu itu kembali tersenyum. Lalu saya membayar mi rebus Rp6.000, dan kembali menaiki undakan, menuju pulang, penuh semangat.   

@@@


Tidak ada komentar:

Posting Komentar