Musim
mangga belum usai; saya masai. Dari sekian lama musim mangga, saya tidak menemukan
mangga gurih. Bentuknya agak bulat pipih, kecil, kulitnya hijau pekat. Saya
suka menyantapnya setengah matang.
Hampir
setiap pagi saya melewati pasar. Setelah salat Subuh di masjid saya sengaja
jalan memutar, jalan-jalan dan menghirup udara pagi yang segar, sekalian
berbelanja yang sedang saya butuhkan. Saya membeli sarapan dan buah-buahan.
Di pasar, banyak orang
berjualan mangga. Pedagang ayam, pedagang bumbu, pedagang sayur, yang
sehari-hari tidak menjual buah-buahan, menjual mangga. Rata-rata mereka menjual
lebih dari satu jenis mangga. Ada banyak jenis mangga: arumanis, gurih,
manalagi, indramayu, golek, tailan, apel, dan mungkin ada macam mangga-mangga
lain.
“Kenapa
tidak jual mangga gurih, Mas?” tanya saya penasaran. Kami berbincang dalam
bahasa Jawa.
“Mangga
gurih harganya mahal! Dari pengepul 12 ribu sekilo, Terus aku mesti jual
berapa? Mana ada konsumen beli. Mangga di sini
rata-rata 10 ribu sekilo, bahkan ada yang nawar 7 ribu,” jawabnya, seperti tertuduh
membela diri pada kasus pencurian yang tidak ia lakukan. Dia tersinggung saya
mengira modalnya terbatas.
“Ya
udah, Mas.” Saya juga kesal. Saya bertanya, tidak menuntut. Beruntung saya
tidak sekadar bertanya tentang mangga gurih, tapi juga membeli mangga arumanis,
jualannya. Tiba-tiba bau knalpot menusuk hidung; suara klakson memekak telinga.
Berada di pasar krempyeng pinggir jalan, pembeli tak bisa berlama-lama. Setelah
membayar sepuluh ribu, saya berdiri, dan pergi.
Sehari-hari
saya tinggal di daerah panas, bergelut dengan debu, cocok refreshing ke
pedesaan, seperti ke Gunungpati. Saat saya makan siang, terlihat pohon mangga
di pinggir restoran itu. Saya bertanya kepada seorang
lelaki di situ.
“Kalau
minat saya sambungkan ke pemiliknya. Namanya mangga mahatir,” jelasnya
berpromosi. Alih-alih saya menemukan mangga gurih, mangga yang saya temui
ukurannya jumbo. Bentuknya mirip huruf S.
“Belakangnya
pakai Muhammad?” tanya saya berkelakar. Bapak itu bengong. Lalu ia tertawa
setelah saya jelaskan bahwa Mahatir Muhammad nama mantan PM Malaysia. Beratnya
satu kilo; harganya sepuluh ribu. Saya beli. Ternyata di sebelah restoran ada
perkebunan mangga mahatir. Saya tolak tawarannya ke sana; hari jelang sore.
Dagingnya
tebal; isinya tipis. Rasanya termasuk manis, walau tidak semanis mangga
arumanis, yang dari luar menguar aroma manis. Gara-gara mangga gurih saya
mendapatkan koleksi mangga mahatir. Kini, saya tahu ke mana tempat saya
sambangi jika butuh mangga mahatir.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar