Waktu
menunjuk pukul tujuh malam ketika saya dan seorang teman selesai mengerjakan
tugas. Saatnya kami makan malam. Kami ingin menghadiahi diri setelah bekerja
keras.
“Makan
nasi ayam enak nih,” katanya mengusulkan. Lama dia tidak makan nasi putih lauk
ayam dimasak opor, dan sayur sambal goreng jipang atau labu siam.
“Ayam
lagi, ayam lagi,” tanggap saya. Dia agak tersinggung.
Kami
bersitegang sebelum memutuskan jalan sendiri-sendiri. Buat saya, walau ayam
sesuwir, sama saja makan ayam. Bahkan kuah opornya aroma ayam. Beberapa hari
terakhir setiap hari saya makan nasi lauk ayam, dengan berbagai olahan. Saya teringat
rekomendasi kenalan, di Jalan Dokter Cipto, ada penjual nasi gandul yang lezat,
makanan khas daerah Pati.
Mobil-mobil
berjejer ketika saya tiba di kedai penjual nasi gandul. Tukang parkir memberi
tempat dengan aba-aba pada mobil yang baru datang. Ada penyanyi mangkal di
depan kedai, serasa di kafe. Di sebelahnya, ada kotak kardus, tempat saweran dari
pengunjung.
Para
pembeli memenuhi di kursi-kursi plastik. Saya duduk di ujung. Ada beberapa
pilihan lauk; saya pesan nasi gandul lauk daging. Baru saja saya akan request
lagu, sambil menunggu pesanan tiba, mengalun intro lagu kesukaan saya; dan itu
sesuai dimainkan dengan alat musik gitar. Saya menirukan melodinya. Selesai
sebait saya ikut melantunkan liriknya, seorang anak wanita, pedagang tisu, mengganggu
meminta saya membeli dua tisu. Saya selalu membawa tisu, tapi untuk tidak mengecewakannya,
saya memberinya selembar sepuluh ribu, sesuai keinginannya. Saya perhatikan di
meja tidak ada tisu, entah habis, atau pedagang tidak menyediakan tisu.
Lagu
“Kangen” Dewa 19 masih melantun. Saya manggut-manggut, sesekali menirukan liriknya,
sesekali menirukan melodinya. Nasi gandul berkuah kental, rasanya manis, mirip
gulai, tapi tidak ada sentuhan daun korokeling yang aromatik. Dagingnya empuk. Entah
kapan saya menikmati nasi gandul, di lain tempat.
Pikiran saya menangkap sesuatu. Ia adalah sebuah harmoni, dari kolaborasi pedagang nasi gandul, penyanyi, pedagang tisu, dan tukang parkir. Satu sama lain saling memberi kontribusi dan keuntungan materi, yang semua itu, menciptakan kenyamanan dan rasa ingin kembali menikmati nasi gandul di tempat ini, setidaknya bagi saya.
Saya
teringat cerita teman, yang rukonya di pinggir jalan.
“Apa
dia tidak sadar, perbuatannya mengganggu lingkungan? Seenaknya membuang sampah
di tempat orang. Hampir tiap hari pembantuku bersih-bersih,” keluhnya, tentang
sedikit lahan kosong di sisi kiri rukonya yang sering menjadi tempat pembuangan
sampah orang tidak bertanggung jawab. Saya prihatin.
Setelah
bercerita dengan banyak teman, ia bersyukur, ada pedagang minuman yang butuh
lahan. Tempo hari saya lewat, lingkungannya bersih, setelah kolaborasi antara
teman saya dan pedagang minuman.
Penyanyi
berganti melantunkan lagu dari penyanyi solo wanita. Nasi gandul telah ludes.
Saya mengambil tisu menghalau peluh. Saya tak selalu membawa alat make up,
untuk memperbaiki kerudung, dan riasan. Saya teringat teman, yang tadi memilih
makan nasi ayam. Ia tak begitu suka membawa tisu. Bagaimana jika rumah makan
yang ia tuju tidak ada tisu, seperti di sini. Biasanya dia meminta saya; tapi
dia rajin bawa alat make up.
Sebelum
dandanan saya yang mungkin tak karuan, dilihat banyak orang, saya buru-buru
membayar, dan, pergi.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar