Iis Soekandar: Kolaborasi

Kamis, 26 Desember 2024

Kolaborasi

Waktu menunjuk pukul tujuh malam ketika saya dan seorang teman selesai mengerjakan tugas. Saatnya kami makan malam. Kami ingin menghadiahi diri setelah bekerja keras.

“Makan nasi ayam enak nih,” katanya mengusulkan. Lama dia tidak makan nasi putih lauk ayam dimasak opor, dan sayur sambal goreng jipang atau labu siam.

“Ayam lagi, ayam lagi,” tanggap saya. Dia agak tersinggung.

Kami bersitegang sebelum memutuskan jalan sendiri-sendiri. Buat saya, walau ayam sesuwir, sama saja makan ayam. Bahkan kuah opornya aroma ayam. Beberapa hari terakhir setiap hari saya makan nasi lauk ayam, dengan berbagai olahan. Saya teringat rekomendasi kenalan, di Jalan Dokter Cipto, ada penjual nasi gandul yang lezat, makanan khas daerah Pati.

Mobil-mobil berjejer ketika saya tiba di kedai penjual nasi gandul. Tukang parkir memberi tempat dengan aba-aba pada mobil yang baru datang. Ada penyanyi mangkal di depan kedai, serasa di kafe. Di sebelahnya, ada kotak kardus, tempat saweran dari pengunjung.

Para pembeli memenuhi di kursi-kursi plastik. Saya duduk di ujung. Ada beberapa pilihan lauk; saya pesan nasi gandul lauk daging. Baru saja saya akan request lagu, sambil menunggu pesanan tiba, mengalun intro lagu kesukaan saya; dan itu sesuai dimainkan dengan alat musik gitar. Saya menirukan melodinya. Selesai sebait saya ikut melantunkan liriknya, seorang anak wanita, pedagang tisu, mengganggu meminta saya membeli dua tisu. Saya selalu membawa tisu, tapi untuk tidak mengecewakannya, saya memberinya selembar sepuluh ribu, sesuai keinginannya. Saya perhatikan di meja tidak ada tisu, entah habis, atau pedagang tidak menyediakan tisu.

Lagu “Kangen” Dewa 19 masih melantun. Saya manggut-manggut, sesekali menirukan liriknya, sesekali menirukan melodinya. Nasi gandul berkuah kental, rasanya manis, mirip gulai, tapi tidak ada sentuhan daun korokeling yang aromatik. Dagingnya empuk. Entah kapan saya menikmati nasi gandul, di lain tempat.

 Pikiran saya menangkap sesuatu. Ia adalah sebuah harmoni, dari kolaborasi pedagang nasi gandul, penyanyi, pedagang tisu, dan tukang parkir. Satu sama lain saling memberi kontribusi dan keuntungan materi, yang semua itu, menciptakan kenyamanan dan rasa ingin kembali menikmati nasi gandul di tempat ini, setidaknya bagi saya.

Saya teringat cerita teman, yang rukonya di pinggir jalan.

“Apa dia tidak sadar, perbuatannya mengganggu lingkungan? Seenaknya membuang sampah di tempat orang. Hampir tiap hari pembantuku bersih-bersih,” keluhnya, tentang sedikit lahan kosong di sisi kiri rukonya yang sering menjadi tempat pembuangan sampah orang tidak bertanggung jawab. Saya prihatin.

Setelah bercerita dengan banyak teman, ia bersyukur, ada pedagang minuman yang butuh lahan. Tempo hari saya lewat, lingkungannya bersih, setelah kolaborasi antara teman saya dan pedagang minuman.

Penyanyi berganti melantunkan lagu dari penyanyi solo wanita. Nasi gandul telah ludes. Saya mengambil tisu menghalau peluh. Saya tak selalu membawa alat make up, untuk memperbaiki kerudung, dan riasan. Saya teringat teman, yang tadi memilih makan nasi ayam. Ia tak begitu suka membawa tisu. Bagaimana jika rumah makan yang ia tuju tidak ada tisu, seperti di sini. Biasanya dia meminta saya; tapi dia rajin bawa alat make up.

Sebelum dandanan saya yang mungkin tak karuan, dilihat banyak orang, saya buru-buru membayar, dan, pergi.

@@@




 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar