Iis Soekandar: Ketika Hujan Tak Kunjung Reda

Kamis, 26 Desember 2024

Ketika Hujan Tak Kunjung Reda

 

Sore diguyur hujan deras, dan tak ada tanda segera reda, ketika saya akan pergi ke toko aksesori. Aksesori itu akan saya pakai kondangan hari Minggu. Saya harus mencarinya di beberapa toko, jika satu toko tak menemukan. Sebotol bir pletok, pemberian saudara, tinggal separuh. Warnanya merah muda, kombinasi kayu secang yang merah dan susu putih. Rasa dan aroma jahenya tak setajam wedang ronde. Bir pletok cocok diminum saat hawa dingin.

Saya meraih  buku kesayangan: Kisah Seribu Satu Malam. Buku ini selalu ada di meja kerja saya. Saya membacanya pada waktu senggang, atau butuh rujukan, atau melupakan sejenak kesusahan.

Bentuknya antologi; saya memilih judul cerita sembarang. Setiap akhir adegan dalam cerita itu, selalu membuat saya penasaran: di depan, ada adegan lebih menarik, dan saya mengikutinya, begitu seterusnya, dan tanpa terasa, cerita selesai.

Pantaslah, Raja Syahrayar, akibat pengalaman dikhianati istri pertama, tidak jadi membunuh Ratu Syahrazad. Mereka kemudian memiliki anak. Setiap Ratu selesai bercerita, Raja penasaran, ingin mendengar cerita lain, malam berikutnya, dan tak terasa, malam keseribu satu. Hal ini mematahkan pendapat Raja, bahwa semua wanita atau istri: pengkhianat, dan tidak membunuhnya selesai malam pertama.  

Saya suka karya ini: di dalam adegan ada adegan. Cerita menjadi rumit dan menarik. Penggambaran setting detail; seakan saya berada di sana.

Setiap cerita kental pendidikan moral. Saya merenungi selesai membaca satu cerita,  seperti kisah Raja Syahzaman, adik Raja Syahrayar. Ia dikhianati istrinya sebelum kakaknya mengalami. Raja Syahzaman dikhianati satu wanita: istrinya; Raja Syahrayar dikhianati sebelas wanita: istri dan sepuluh selirnya. Raja Syahzaman sembuh dari sakitnya; ia beruntung.

Mirip keadaan itu saya alami saat saya tamasya ke Sam Poo Kong. Saya menghindari tanggal merah; tarip masuk pasti tinggi. Ternyata, tanggal 24 Desember, sebagaimana kedatangan saya, dihitung libur Nataru, harga tiket masuk reguler lima belas ribu menjadi dua puluh lima ribu rupiah. Saya menyesal, mengapa tidak bepergian sebelum tanggal 24. Uang sepuluh ribu dapat menebus segelas gempol welahan, sisa seribu rupiah.

Selesai saya jalan-jalan dan swafoto, di halte, seorang wanita, juga calon penumpang bus Transsemarang, mengeluh.

“Anak saya sewa satu kostum delapan puluh ribu. Hanya untuk poto-poto di depan klenteng. Saya pikir tidak semahal itu,” katanya, begitu tahu saya dari Sam Poo Kong. Saya tidak bermaksud merendahkannya, tapi melihat rok dan blus sederhananya, wajah tanpa make up, bersandal jepit, dan keluhannya, kehilangan uang delapan puluh ribu sangat berarti. Kesedihan saya jauh lebih ringan dibanding yang ia alami.   

Tek tek tek … tek tek tek … tek tek tek …

Ketokan penjual bakso memanggil. Hujan reda. Segera saya selesaikan cerita dari kebudayaan zaman Khalifah Harun Al Rasyid itu. Lalu, saya berpayung, pergi ke toko aksesori, menepis gerimis tipis.

@@@


Tidak ada komentar:

Posting Komentar