Sore
diguyur hujan deras, dan tak ada tanda segera reda, ketika saya akan pergi ke
toko aksesori. Aksesori itu akan saya pakai kondangan hari Minggu. Saya harus
mencarinya di beberapa toko, jika satu toko tak menemukan. Sebotol bir pletok,
pemberian saudara, tinggal separuh. Warnanya merah muda, kombinasi kayu secang
yang merah dan susu putih. Rasa dan aroma jahenya tak setajam wedang ronde. Bir
pletok cocok diminum saat hawa dingin.
Saya
meraih buku kesayangan: Kisah Seribu
Satu Malam. Buku ini selalu ada di meja kerja saya. Saya membacanya pada waktu
senggang, atau butuh rujukan, atau melupakan sejenak kesusahan.
Bentuknya
antologi; saya memilih judul cerita sembarang. Setiap akhir adegan dalam cerita
itu, selalu membuat saya penasaran: di depan, ada adegan lebih menarik, dan
saya mengikutinya, begitu seterusnya, dan tanpa terasa, cerita selesai.
Pantaslah,
Raja Syahrayar, akibat pengalaman dikhianati istri pertama, tidak jadi membunuh
Ratu Syahrazad. Mereka kemudian memiliki anak.
Setiap Ratu selesai bercerita, Raja penasaran, ingin mendengar cerita lain,
malam berikutnya, dan tak terasa, malam keseribu satu. Hal ini mematahkan
pendapat Raja, bahwa semua wanita atau istri: pengkhianat, dan tidak
membunuhnya selesai malam pertama.
Saya
suka karya ini: di dalam adegan ada adegan. Cerita menjadi rumit dan menarik. Penggambaran
setting detail; seakan saya berada di sana.
Setiap
cerita kental pendidikan moral. Saya merenungi selesai membaca satu cerita, seperti kisah Raja Syahzaman, adik Raja Syahrayar.
Ia dikhianati istrinya sebelum kakaknya mengalami. Raja Syahzaman dikhianati
satu wanita: istrinya; Raja Syahrayar dikhianati sebelas wanita: istri dan
sepuluh selirnya. Raja Syahzaman sembuh dari sakitnya; ia beruntung.
Mirip
keadaan itu saya alami saat saya tamasya ke Sam Poo Kong. Saya menghindari
tanggal merah; tarip masuk pasti tinggi. Ternyata, tanggal 24 Desember,
sebagaimana kedatangan saya, dihitung libur Nataru, harga tiket masuk reguler
lima belas ribu menjadi dua puluh lima ribu rupiah. Saya menyesal, mengapa
tidak bepergian sebelum tanggal 24. Uang sepuluh ribu dapat menebus segelas
gempol welahan, sisa seribu rupiah.
Selesai
saya jalan-jalan dan swafoto, di halte, seorang wanita, juga calon penumpang
bus Transsemarang, mengeluh.
“Anak
saya sewa satu kostum delapan puluh ribu. Hanya untuk poto-poto di depan klenteng.
Saya pikir tidak semahal itu,” katanya, begitu tahu saya dari Sam Poo Kong.
Saya tidak bermaksud merendahkannya, tapi melihat rok dan blus sederhananya,
wajah tanpa make up, bersandal jepit, dan keluhannya, kehilangan uang delapan
puluh ribu sangat berarti. Kesedihan saya jauh lebih ringan dibanding yang ia
alami.
Tek
tek tek … tek tek tek … tek tek tek …
Ketokan
penjual bakso memanggil. Hujan reda. Segera saya selesaikan cerita dari
kebudayaan zaman Khalifah Harun Al Rasyid itu. Lalu, saya berpayung, pergi ke
toko aksesori, menepis gerimis tipis.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar