Oleh: Iis Soekandar
Bangsa
yang maju tidak saja didukung oleh penduduknya yang padat dan hasil kekayaan
alam melimpah, tetapi juga masyarakat yang literat. Demikian sambutan tertulis
Mentri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy dalam Panduan Gerakan
Literasi Nasional. Untuk itu pembangunan pendidikan dan kebudayaan digalakkan
dalam lingkup kegiatan-kegiatan literasi melalui pembangunan ekosistem
pendidikan, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat, sebagaimana
yang termaktub dalamRencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2015–2019. Kemendikbud pun menyelenggarakan berbagai program GerakanLiterasi
Nasional (GLN). Apalagi menurut PISA
(Program for International Student Assessment), budayamembaca anak-anak
Indonesia rendah. Indonesia menduduki urutan 62 dari 70 negara yang disurvei.
Demikian dilansir Detiknews
(5/12/2019).
Di
lingkungan sekolah program pemerintah tersebut mudah diimplementasikan. Karena sekolah
terikat dengan peraturan. Pemerintah menggalakkan literasi seperempat jam
sebelum pembelajaran dimulai. Peserta didik diminta membaca buku bacaan
kemudian menuliskan intisari yang dibacanya. Sehingga peserta didik diharapkan
terbiasa membaca. Apalagi pemerintah mewajibkan belajar 12 tahun bagi
anak-anak. Pemerintah memberi dana BOS untuk menunjang pendidikan. Dengan demikian
diharapkan semua anak Indonesia mengenyam pendidikan dari SD hingga SMA/ SMK.
Selanjutnya semua generasi muda gemar membaca.
Lalu
bagaimana implementasi literasi di lingkungankeluarga dan masyarakat yang tidak
ada ikatan langsung dengan pemerintah?
Keluarga
adalah unit terkecil dari masyarakat. Kebiasaan dalam keluarga akan terbawa di
masyarakat, termasuk dalam berliterasi. Bagi keluarga menengah ke atas di
antaranya ditandai dengan pentingnya menempuh pendidikan. Membaca menjadi
kebutuhan untuk menunjang disiplin ilmu yang dipilihnya. Bahkan mereka memiliki
perpustakaan sendiri di rumah. Tetapi bagi kalangan keluarga menengah ke bawah,
membaca belum menjadi kebiasaan. Mereka disibukkan dengan urusan ekonomi.Padahal
dengan membaca berbagai persoalan terpecahkan dari buku yang dibaca. Buku-buku
yang dijual di pasaran tidak semua berharga mahal. Ada kemauan ada jalan. Jika
buku sudah menjadi kebutuhan, harga bisa dipertimbangkan, mengingat manfaat
yang didapat.
Inilah
pentingnya kesadaran membaca. Pemerintah melalui tangan panjangnya kelurahan
atau lebih spesifik RT, perlu mengimbau budaya membaca. Pojok baca salah satu alternatif sarana menyediakan buku-buku bagi
setiap keluarga. Pojok baca dibuat
fleksibel tergantung kemampuan keluarga. Bahkan pojok baca adalah tempat yang mulanya tidak terpakai kemudian diberdayakan
menjadi tempat yang representatif menyimpan buku-buku. Pojok baca ramah terhadap kemampuan keluarga, sehingga tidak harus
luas dan dengan biaya mahal. Buku-bukunya pun dibeli menurut kemampuan keuangan
keluarga. Setiap anggota keluarga menyumbangkan buku sesuai kebutuhannya.
Sehingga pojok baca menjadi
#sahabatkeluarga. Dengan demikian #literasikeluarga pun tercipta dan menjadi
kebutuhan yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Kesan selama ini
bahwakebutuhan membaca hanya diperlukan bagi masyarakat yang memiliki akademik
pun terkikis.
Di
luar rumah, pemerintah menyediakan buku-buku dalam pojok baca di tempat-tempat biasanya warga mengadakan
pertemuan-pertemuan, seperti pertemuan PKK sebulan sekali, posyandu, dan masih
banyak lagi kegiatan yang dilenggarakan dari program PKK. Membaca terintegrasi
dengan kegiatan, yiatu sebelum acara inti dimulai. Atau setidaknya sambil
menunggu acara dimulai, masyarakat mengisi waktu dengan membaca. Membaca pun
menjadi kebutuhan seiring masyarakat sering melakukan kegiatan tersebut.
Hal
ini ditunjang dengan kunjungan perpustakaan keliling ke kelurahan-kelurahanatau
kampung-kampung. Berdasarkan survei daerah tempat saya tinggal, perpustakaan
lebih banyak melayani sekolah-sekolah. Pemerintah perlu menambah perpustakaan
keliling melalui armada roda empat. Dengan demikian tidak ada alasan masyarakat
tidak dapat mengakses buku-buku. Kegiatan membaca dilakukan bersama-sama, dari
anak-anak hingga orangtua. Perpustakaan keliling juga diharapkan rajin hadir
dalam momen-momen, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun masyarakat,
seperti pasar murah, perayaan hari besar, dan acara-acara yang banyak
dikunjungi masyarakat.
Buku-buku
yang disediakan perpustakaan keliling beragam. Hal ini sekaligus memberi
pemodelan bagi keluarga-keluarga yang telah memiliki pojok baca. Tidak hanya buku-buku bersifat menghibur
seperti cerita-cerita fiksi, tetapi juga berkaitan dengan keenam literasi
dasar. Agar masyarakat dapat menjawab tantangan abad 21.
Pertama,
buku-buku berkaitan denganliterasi bahasa.
Literasi bahasadimaknai sebagai
membaca dan menulis pada konteks umum. Tidak hanya mengimplementasikan yang
dibaca dari buku, tetapi juga yang tertulis danditemui dalam kehidupan
sehari-hari, seperti membaca tanda rambu-rambu lalu lintas saat berkendaraan.
Sehingga tidak ada lagi kecelakaan disebabkan human error. Selama ini kecelakaan di jalan sebagian dikarenakan
pengendara tidak mematuhi peraturan lalu lintas. Itu artinya masyarakat baru
sebatas membaca tanda rambu lalu lintas, tetapi belum mampu mempraktikkan.
Perlu penanganan langsung dari polisi lalu lintas untuk menindaklanjuti bagi
pelanggar lalu lintas. Bukankah cctv
dipasang di area-area strategis jalan?
Kedua,
buku berkaitan dengan literasi numerasi,
memecahkan masalah praktis dan mengomunikasikan bilangan dalam berbagai bentuk seperti
tabel, untuk mengambil keputusan.
Ketiga,
buku atau bacaanberkaitan dengan literasi
sains. Kemauan membuka diri
menerima, terlibat, dan peduli isu-isu terkait sains atau ilmu pengetahuan.
Keempat,
buku atau bacaan berhubungan dengan literasi
digital. Hal ini berkaitan dengan media digital yang marak di masyarakat.
Android atau ponsel pintar sekarang bukan hal asing.Dari masyarakat atas hingga
bawah memiliki android. Ditambah internet mudah didapat secara gratis melalui wifi.Penggunaan android yang tepat juga
dapat meningkatkan kesejahteraan hidup. Android memberikan informasi-informasi
berguna. Diharapkan tidak ada lagi masyarakat yang gaptek atau gagap teknologi.
Kelima,
buku-buku berkaitan dengan literasi
finansial. Hal ini berkaitan dengan pengelolaan keuangan. Dengan
pengelolaan yang cerdas, tidak ada lagi koruptor-koruptor yang hampir setiap
hari menghiasi berita-berita politik. Apapun alasan perbuatan korupsi itu. Begitupun
tidak ada seorang ibu yang dengan terpaksa membunuh anak-anak dengan memberi
obat racun alasan ekonomi. Sebagaimana pernah tersiar di media. Dengan
pengolaan keuangan yang baik, tidak ada yang tidak terselesaikan dalam
menangani kebutuhan sehari-hari.
Keenam,
buku-buku berkaitandengan literasibudaya
dan kewargaan, menyikapi kebudayaan Indonesia dan memahami hak dan
kewajiban sebagai warga masyarakat. Budaya, termasuk kearifan lokal tidak saja
sebagai identitas bangsa tetapi juga mengandung nilai-nilai positip bagi
masyarakat setempat. Sedangkan literasi kewargaan berkaitan dengan tidak
menggaggu hak-hak orang lain sehingga tidak terjadi benturan-benturan di
masyarakat.
Keenam
literasi dasar telah memberi pedoman lengkap bagi terbentuknya keluarga
bahagia. Jika hal ini benar-benar dijalankan─ sementara sekarang baru
digalakkan literasi bahasa─ masyarakat yang literat pun mudah terbentuk. Dengan
demikian, keluarga dan masyarakat sangat berperan dalam
membudayakan literasi di bumi tercinta ini.
Semakin
kokohbangsa Indonesiadalam mengisi abad 21, memiliki penduduk banyak, hasil
alam yang melimpah, dan masyarakat literat.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar