Judul di atas benar-benar mewakili perjalanan saya
saat mendampingi para siswa ke tempat-tempat wisata di Jakarta dan Bandung. Apakah pengalaman sebelumnya tidak
berkesan? Mengingat ini bukan kali pertama saya mengikuti study tour. Ibarat sebuah botol sebelumnya hanya terisi sebagian
air, kali ini penuh. Sebab pada kesempatan ini saya akan memortofoliokan ke
dalam blog. Maka semua kejadian harus terekam dalam memori. Baik ingatan maupun
catatan dalam kertas. Tidak lupa menyiapkan gambar-gambar yang mendukung.
Sedangkan sebelumnya banyak kejadian lewat begitu saja, hanya sedikit yang
terekam, tahu-tahu sudah kembali ke Semarang.
Senin, 17 Desember 2018, tepat
pukul 13.00 WIB, bus mulai bergerak dari tempat penjemputan, tidak jauh dari
sekolah, kemudian lambat laun melaju menembus jalan raya. Belum keluar dari
Kota Semarang kami harus dihadapkan pada kenyataan yang tidak menyenangkan. Kemacetan
di daerah Mangkang hal biasa. Tetapi macet hingga empat jam, ini juga kesan, walupun
kesan yang kurang menyenangkan. Ternyata kemacetan itu terjadi karena sedang ada
perbaikan jalan. Kira-kira pukul 17.00 baru terbebas dari keadaan macet. Itu
pengalaman pertama saya sebagai warga Semarang yang biasanya tidak mengalami
kemacetan hingga selama itu.
Wisata pertama adalah dengan berziarah ke makam Syeh
Maulana Syamsudin di Pemalang. Bila kedatangan sesuai jadwal, pukul lima sore
sampai di tempat tujuan, kami bisa menikmati sunset, sebagaimana pengalaman
yang pernah saya alami beberapa tahun lalu. Di depan kompleks makam adalah
pantai. Karena sudah terlalu malam, rencana makan malam di Brebes pun dibatalkan.
Kami makan malam di Pemalang. Selesai makan, perjalanan panjang pun dimulai
menuju ke Jakarta. Akibat kemacetan di Semarang juga di jalan tol menuju
Jakarta, kami baru sampai di TMII (Taman Mini Indonesia Indah) pukul tujuh pagi.
Kami mandi dan sarapan. Perburuan pun dimulai dengan mengambil gambar-gambar di
sejumlah rumah adat.
Rumah adat Bengkulu |
Perjalanan dilanjutkan ke Lubang Buaya dan Monumen
Pancasila Sakti. Menurut informasi area parkir di tempat wisata tersebut penuh.
Sehingga bus yang kami tumpangi disarankan parkir di masjid Istiqlal. Walaupun
letaknya berdekatan, tetapi dengan berjalan kaki, lumayanlah. Apalagi dengan
mengawal para siswa. Syukurlah ada bus trans. Bus wisata itu diperuntukkan bagi
para wisatawan. Saya jadi ingat si Kenang, bus wisata di Semarang yang juga
diperuntukkan bagi wisatawan dan gratis.
Di sana kami mempelajari sejarah
tentang kekejaman PKI dalam menyiksa para jenderal. Lengkap dengan setting
tempat yang dulu digunakan sebagai markas, mobil truk, dan yang tidak kalah penting
adalah sumur yang terkenal dengan Lubang Buaya sebagai tempat pembuangan para
pahlawan itu. Bagi yang ingin melihat sejarah TNI disediakan juga video.
Monumen Pancasila Sakti |
Perjalanan selanjutnya menuju ke Monas atau Monumen
Nasional. Sayang kami harus berkejaran dengan hujan. Sore hari saatnya
bersantai menikmati pemandangan di Cawan-lokasi di Monas bagian dasar yang
berbentuk seperti cawan- tiba-tiba hujan turun. Padahal untuk menuju ke sana harus
menaiki tangga sebanyak delapan kali. Lumayan buat kaki yang sudah
berjalan-halan seharian. Tapi apa boleh, mumpung ada kesempatan. Sebetulnya berhasrat
juga ke puncak Monas, toh dengan melalui lift.
Tapi karena antrean pengunjung panjang, sementara kami harus berpacu dengan
waktu melanjutkan perjalanan berikutnya, niat itu terurungkan. Padahal tiketnya
murah, hanya sepuluh ribu rupiah per orang sedangkan naik di Cawan lima ribu
rupiah.
Pulang dari Monas bus melaju ke penginapan. Itu juga
harus menempuh perjalanan panjang karena tidak di Jakarta, melainkan PHI di
wilayah Bekasi. Maka makan malam dilanjutkan dengan tidur menjadi kesempatan yang
sungguh berarti.
Kembali kami harus menunggu, kali ini bukan karena macet, tapi makan pagi yang terlambat hingga satu jam. Dengan berdalih harus menyajikan sarapan bagi wisatawan satu penginapan. Maka begitu bus melaju ke arah Bandung kami menjadi senang. Sebelum masuk ke Trans Studio, kami salat sebagaimana musafir, yaitu Duhur dan Asar dikerjakan dalam satu waktu dengan masing-masing dua rakaat salam. Sebuah tempat wisata yang representatif karena juga menyediakan masjid, mengingat untuk menikmati banyak wahana di sana membutuhkan waktu lama, maka beribadah tidak boleh ditinggalkan.
Kembali kami harus menunggu, kali ini bukan karena macet, tapi makan pagi yang terlambat hingga satu jam. Dengan berdalih harus menyajikan sarapan bagi wisatawan satu penginapan. Maka begitu bus melaju ke arah Bandung kami menjadi senang. Sebelum masuk ke Trans Studio, kami salat sebagaimana musafir, yaitu Duhur dan Asar dikerjakan dalam satu waktu dengan masing-masing dua rakaat salam. Sebuah tempat wisata yang representatif karena juga menyediakan masjid, mengingat untuk menikmati banyak wahana di sana membutuhkan waktu lama, maka beribadah tidak boleh ditinggalkan.
salah satu sudut di Trans Studio |
Melihat antrean yang
panjang pada setiap wahana, sedangkan waktu yang disediakan hanya dua jam
setengah, saya memutuskan untuk berjalan-jalan saja sambil memotret
lokasi-lokasi yang ada. Tidak lupa kami makan siang di tempat yang sudah
dipesan sebab pengunjung tidak diperkenankan membawa makanan dari luar. Makanan
pun tidak dijual dalam partai kecil sebagaimana yang tertera dalam daftar menu.
Itu berdasarkan para penjual popcorn yang saya temui. Entah benar habis atau
trik.
Tepat pukul 17.00 kami munuju ke Cibaduyut. Pertama yang
ada dalam benak saya adalah makanan. Setiap pergi ke satu daerah selain tempat
wisata, adalah makanan khas. Batagor salah satu makanan khas Bandung. Maka
begitu sampai di Cibaduyut saya langsung mencari batagor. Menurut para pedagang
yang sempat saya tanya, ada batagor enak. Tempatnya dekat pengkolan.
Karena letaknya agak
jauh dari tempat parkir bus, sambil berjalan menyusuri pertokoan Cibaduyut,
saya pun membeli barang-barang yang sudah terencana dari rumah. Sengaja saya tidak
membeli peuyeum di sana walaupun banyak yang menjajakan. Saya bisa membeli di
pusat oleh-oleh nanti menuju pulang.
Akhirnya saya sampai di tempat tujuan. Penjualnya ramah. Saya
terheran ketika dia menawari, batagor goreng atau kuah. Ternyata batagor ada
dua jenis, goreng dan kuah. Yang goreng dimakan dengan sambal kacang; batagor
kuah dengan kuah bakso. Karena di daerah saya hanya ada batagor goreng dan saya
sudah sering makan, saya memesan batagor kuah.
Batagor kuah |
Hm, yummi. Rasa ikannya
begitu terasa. Inilah hikmahnya memburu makanan khas di daerahnya. Disamping
rasanya mantap, mendapatkan pengalaman lebih. Kali ini merasakan batagor kuah. Kepuasan
saya terbayar dengan batagor kuah di antara lalu lintas Cibaduyut yang ramai
sembari menghirup sejuknya angin malam sehabis hujan. Apalagi semangkuk batagor
kuah hanya dibandrol lima ribu rupiah. Harga yang murah padahal dia tahu saya
bukan asli Bandung.
Pengalaman
berharga telah saya lalui bersama para siswa dengan penuh kenangan selama empat
hari. Saatnya tiba di Semarang, Kamis, pukul 07.00 WIB. Sampai jumpa pada tamasya
berikutnya. Selamat berlibur!
@@@
Judulnya wisata kilat ya, mbak 😄
BalasHapusIya nih. Kalau tamasya pribadi setidaknya satu minggu, Mbak Git
Hapus