Pengalaman
Baru Muri Murai
Oleh
: Iis Soekandar
Seekor Muri Murai senantiasa berada
dalam sarangnya di dahan. Kedua orangtuanya selalu mencarikan makanan untuknya.
Mungkin karena ia anak tunggal. Ia amat manja.
“Muri Murai, ayo keluar. Di sana banyak
buah-buahan. Tinggal pilih mana yang kita mau,” ajak Pipit.
“Aku sedang flu, tidak boleh terkena
udara luar.” Jawab Muri Murai malas-malasan.
“Hari ini flu, kemarin batuk, kemarin
lusa pusing.” Gasak Kenari.
“Kamu kurang berolah raga, sih,” Pancawarna menambahi.
Muri
Murai, Pipit, Kenari, dan Pancawarna, teman seumuran. Hanya Muri Murai yang tidak
pernah keluar. Tetapi Pipit, Kenari, dan Pancawarna selalu bermain bersama
sembari mencari makan sendiri. Terkadang pepaya, atau pisang, atau jambu, ah
apa saja buah yang sudah masak, mereka santap.
Suatu saat mereka membawakan Muri Murai
buah kecil-kecil sebesar biji kelereng. Tapi bentuknya lonjong. Warnanya hijau. Rasanya manis-segar. Selama ini kedua
orangtuanya belum pernah membawakan buah semenarik itu. Ternyata buah anggur
namanya. Seketika itu Muri Murai minta diantar ke pohon anggur. Di sana ia
makan anggur sepuasnya.
Benar, ternyata enak terbang sendiri.
Bisa menikmati alam bebas. Menghirup udara segar. Semenjak itu Muri Murai minta
disamperi setiap kali Pipit, Kenari, dan Pancawarna terbang mencari buah-buahan.
Tentu saja kedua orangtuanya senang. Disamping tidak membebani mencarikan
buah-buahan, Muri Murai pun tidak sakit-sakitan.
Suatu saat seperti biasa mereka terbang
berempat. Ternyata tidak ada buah yang masak. Pepaya, pisang, masih berwarna
hijau. Tanpa disangka Muri Murai mencium bau harum. Diam-diam ia mendekati bau
harum itu. Perutnya yang keroncongan bakal terisi. Muri Murai makan sendiri.
Namun baru menikmati lezatnya buah itu sesaat, kerongkongannya sakit.
“Aduh, tolooong,” seketika itu Muri Murai
memuntahkan makanannya. Ketiga temannya kaget mendengar suaranya. Ternyata Muri
Murai jauh dari mereka.
“Wah Muri Murai dapat buah sirkaya besar dan
masak.”
“Makan jangan dengan bijinya. Terang
saja kerongkonganmu sakit.”
“Jadi...itu
buah sirkaya namanya.” Kata Muri Murai bertambah satu lagi perbendaharaan
buahnya. “Maafkan aku bermaksud serakah. Kurasa buah sebesar ini bisa kita
santap berempat, daripada kita pulang dengan perut kosong.”
Tidak sedikit pun mereka sakit hati.
Hari itu mereka bersuka cita. Mereka pulang dengan perut terisi.
@@@
Fabel ini pernah dimuat di Nusantara Bertutur, Kompas Minggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar