Siang
itu lantunan suara dari masjid tak seperti biasanya, mengurangi panas matahari yang
mendera. Satu dua orang keluar atau masuk melewati pintu utama masjid. Bukan Pak
Ustaz sedang berceramah, atau salawatan diiringi musik rebana, karena acara-acara
seperti itu biasanya sore hari, melainkan alunan merdu orang membaca Al-Quran seperti
dalam acara hajatan. Pembacaan disertai nada dulu sering saya lihat dan dengar,
melalui acara lomba di telivisi: MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an). Seiring perkembangan
zaman, banyak pula stasiun televisi berdiri, mungkin acara itu masih disiarkan,
tapi saya lebih memilih statsiun televisi menyiarkan khusus berita.
Saya dari bepergian jauh hendak
pulang, lalu penasaran, dan mampir sekalian beristirahat. Di serambi sisi kanan,
ada Pak Ustaz, di depannya, jemaah lelaki dan perempuan dengan pemisah tirai kain
hijau sebahu orang duduk. Mereka duduk lesehan menghadapi meja-meja lipat, di
atasnya kitab-kitab suci.
Itu awal perkenalan saya lebih dekat
dengan Seni Baca Al-Qur’an, yang kemudian ruang memberi waktu saya untuk mengikutinya.
Prosesnya tidak mudah. Beberapa kali saya hanya duduk memperhatikan dari jauh. Pak
Ustaz melantunkan ayat dengan nada kemudian perserta menirukan. Setelahnya,
mereka membaca satu per satu.
“Mari ke sini,” kata peserta wanita,
mencuri waktu, saat giliran peserta laki-laki membaca.
Saya mengangguk dan tersenyum. Begitu
berkali-kali respon saya, hingga suatu saat saya mengikuti, tepatnya setelah Lebaran
tahun ini. Kursus Seni Baca Al-Qur’an ini gratis, berlangsung dari pukul 13.00-14.00
setiap Minggu.
Setiap peserta diberi selembar
kertas berisi nada-nada panduan. Ada tujuh macam nada: bayati, shoba, hijaz,
nahawand, sika, rost, jiharka, masing-masing beserta contoh ayat-ayat, untuk
kami praktikkan setiap awal kursus. Kemudian Pak Ustaz membimbing, menerapkan
nada-nada itu dalam ayat-ayat di Al-Qur’an. Ayat-ayat dipilih sesuai
momen-momen tertentu. Seperti khitan, orang akan pergi haji, pernikahan, atau
tahun baru Hijriah. Ini untuk menyiapkan bila suatu saat di antara kami ada
yang diminta kerabat, tetangga, atau kenalan, melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Setiap peserta wajib mengerti tajwid.
Tajwid menyangkut panjang pendek huruf dan ketepatan pelafalan. Seni Baca
Al-Quran dilantunkan melalu palantang suara dan didengar orang banyak. Jika
terjadi kesalahan, terdengar jelas, termasuk tidak memahami tajwid.
Akhirnya saya mendapat giliran
membaca sendiri, entah pada pertemuan ke berapa. Badan panas dingin, suara
serak, pegang pelantang suara gemetar. Dan itu saya alami berkali kali. Sampai suatu
saat saya merasakan berbeda. Saya begitu percaya diri, suara tidak serak, tidak
gemetar, pegang pelantang suara tidak terasa berat, hasilnya pun maksimal. Begitu
kursus selesai, seperti ada beban terlepas, yang selama ini menggelayuti. Saya tidak
sabar menunggu hari Minggu berikutnya.
Ruang telah memberi waktu kepada
diri saya membuka mata bahwa ada pengetahuan, menjadi manusia maju selangkah,
untuk tiga tahapan ini: mengikuti kursus yang semula ragu, keberanian membaca
sendiri, dan menemukan membaca nikmat. Sebab begitulah manusia selayaknya, senantiasa
membuka diri.
@@@














