Iis Soekandar

Jumat, 26 Desember 2025

Masa-Masa Indah

                                                                                          

                                              tempat wisata Geblek Pari, Kulon Progo, DIY

Dua ribu dua puluh lima adalah tahun keseriusan saya menjalani kehidupan sebagai penulis. Awalnya saya ragu-ragu, apakah saya mampu menjalaninya. Keraguan itu berkaitan dengan dua hal: finansial dan pertemanan. Tapi kalau tidak saya mulai segera, kapan saya akan memulainya. Karena untuk meninggalkannya, tidak mungkin. Kegiatan menulis telanjur menjadi kebutuhan, laiknya makan dan minum.

Cara mengantisipasi jika saya menemui masalah dengan mendatangi pengajian-pengajian, sesering waktu saya miliki. Saya tinggal di daerah, yang setiap waktu ada tempat-tempat mengadakan pengajian, selain di masjid dan musala. Di sanalah bimbingan-bimbingan gratis diberikan oleh Pak Ustaz dan Bu Ustazah, berkaitan masalah-masalah yang saya hadapi, termasuk sikap dalam menghadapi dunia kepenulisan. Bimbingan-bimbingan itu selalu berdasarkan syariat-syariat. Sekalian saya belajar dan memahami, sekaligus menjalankan ajaran-ajaran agama. Dan benar, Islam agama untuk kesejahteraan ummat dan kitab suci Al-Qur’an lengkap, mambahas kehidupan dalam semua aspek.

Saya diceritakan sirah atau riwayat nabi-nabi. Karena nabi juga manusia yang juga makan dan minum, dan harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup lain. Hal sepele namun berarti, ketika ‘rezeki tidak selalu berupa uang’ saya dapatkan, yang sebelumnya sebagai slogan. Suatu ketika saya menginginkan makanan, dan itu makanan spesifik, saya diberi teman saat kongko di luar masjid menunggu waktu salat. Padahal makanan itu sulit saya dapatkan di warung makan. Pernah juga saya mendapatkan makanan dari tetangga, saat duduk menonton televisi. Bahkan ketika saya membutuhkan buku-buku tulis dan alat-alat tulis untuk kegiatan kepenulisan, saya mendapatkan secara gratis. Saya tidak perlu bekerja mendapatkan semua itu, dan tidak ada sesuatu kebetulan. Lalu tuntunan berpuasa, yang sebelumnya saya lakukan hanya puasa wajib dan puasa setahun sekali, dan sulit saya bayangkan sebelumnya bahwa saya mampu menjalaninya. Dan saya dimudahkan menjalaninya. Begitupun ketika finansial saya cukup untuk diri sendiri, saya tetap diberi kesempatan memberi orang lain ketika saya mendapat barang tapi saya tidak membutuhkannya. Karena berbuat baik dalam keadaan lapang maupun sempit.

 

Saya pernah mendengar ceramah dari Pak Ustaz, bahwa, kebahagiaan sesungguhnya jika kamu tidak membutuhkan siapa-siapa, dalam arti teman fisik.

Dan itu terjadi pada diri saya.

Menjalani kegiatan kepenulisan siap hidup seorang diri. Untuk riset tempat dan suasana, menemui narasumbur, maupun menulis atau mengetik, yang semua itu tidak terikat waktu, menjadikan kepenulisan tidak seperti kegiatan-kegiatan lain, yang berjalan dalam waktu tertentu, dan ada batasan-batasannya. Terkadang saya bekerja ketika orang-orang istirahat; saya liburan ketika orang-orang bekerja, begitupun sebaliknya, dan seterusnya. Tapi justru itulah yang saya suka. Saya bekerja secara fleksibel. Saya bisa bekerja sepuas saya inginkan, begitu pun ketika saya istirahat, biasanya setelah target selesai, juga sepuasnya.

Saya tidak merasa kehilangan teman-teman fisik. Saya justru senang, tidak merasakan kecewa, ketika teman yang saya tunggu, lama baru datang, misalnya, atau diingkari karena ternyata ia tidak datang, dan perasaan-perasaan tidak menyenangkan lain. Saya bertemu teman-teman fisik biasanya ketika kami ada acara, atau bertemu rutin jika mereka teman satu berkumpulan. Sebaliknya, era digital, saya mendapatkan teman-teman dumay. Seringkai unggahan-unggahan mereka membuat saya: bangun kala jatuh, berjalan kala terhenti, tersenyum kala menangis, berdiri kala tumbang, berteman kala seorang diri, dan punya harapan kala hampir putus asa. Terima kasih untuk pertemanan-pertemanan ini.

Selebihnya, saya bersenang-senang, mengeksplor ide-ide, selanjutnya, mungkin saya harus mengamati tokoh melalu orang-orang lewat atau orang-orang yang saya jumpai, membuat blue print, dan kegiatan-kegiatan kepenulisan lain, yang intinya, untuk menghasilkan karya bagus: cerpen. Dunia menjadi milik saya: pagi, siang, sore, malam.  

Allah, terima kasih untuk masa-masa indah sepanjang tahun 2025. Saya belum tentu mendapatkannya kembali tahun-tahun mendatang. Materi seringkali membuat orang lengah. Dan, kalaupun itu tejadi pada diri saya kelak, cukuplah karena saya lupa, bukan lalai.

@@@


Jumat, 12 Desember 2025

Ruang Waktu

                                                                                         

ruang utama Masjid Agung Semarang

       Siang itu lantunan suara dari masjid tak seperti biasanya, mengurangi panas matahari yang mendera. Satu dua orang keluar atau masuk melewati pintu utama masjid. Bukan Pak Ustaz sedang berceramah, atau salawatan diiringi musik rebana, karena acara-acara seperti itu biasanya sore hari, melainkan alunan merdu orang membaca Al-Quran seperti dalam acara hajatan. Pembacaan disertai nada dulu sering saya lihat dan dengar, melalui acara lomba di telivisi: MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an). Seiring perkembangan zaman, banyak pula stasiun televisi berdiri, mungkin acara itu masih disiarkan, tapi saya lebih memilih statsiun televisi menyiarkan khusus berita.

            Saya dari bepergian jauh hendak pulang, lalu penasaran, dan mampir sekalian beristirahat. Di serambi sisi kanan, ada Pak Ustaz, di depannya, jemaah lelaki dan perempuan dengan pemisah tirai kain hijau sebahu orang duduk. Mereka duduk lesehan menghadapi meja-meja lipat, di atasnya kitab-kitab suci.

            Itu awal perkenalan saya lebih dekat dengan Seni Baca Al-Qur’an, yang kemudian ruang memberi waktu saya untuk mengikutinya. Prosesnya tidak mudah. Beberapa kali saya hanya duduk memperhatikan dari jauh. Pak Ustaz melantunkan ayat dengan nada kemudian perserta menirukan. Setelahnya, mereka membaca satu per satu.

            “Mari ke sini,” kata peserta wanita, mencuri waktu, saat giliran peserta laki-laki membaca.

            Saya mengangguk dan tersenyum. Begitu berkali-kali respon saya, hingga suatu saat saya mengikuti, tepatnya setelah Lebaran tahun ini. Kursus Seni Baca Al-Qur’an ini gratis, berlangsung dari pukul 13.00-14.00 setiap Minggu.

            Setiap peserta diberi selembar kertas berisi nada-nada panduan. Ada tujuh macam nada: bayati, shoba, hijaz, nahawand, sika, rost, jiharka, masing-masing beserta contoh ayat-ayat, untuk kami praktikkan setiap awal kursus. Kemudian Pak Ustaz membimbing, menerapkan nada-nada itu dalam ayat-ayat di Al-Qur’an. Ayat-ayat dipilih sesuai momen-momen tertentu. Seperti khitan, orang akan pergi haji, pernikahan, atau tahun baru Hijriah. Ini untuk menyiapkan bila suatu saat di antara kami ada yang diminta kerabat, tetangga, atau kenalan, melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an.

            Setiap peserta wajib mengerti tajwid. Tajwid menyangkut panjang pendek huruf dan ketepatan pelafalan. Seni Baca Al-Quran dilantunkan melalu palantang suara dan didengar orang banyak. Jika terjadi kesalahan, terdengar jelas, termasuk tidak memahami tajwid.

            Akhirnya saya mendapat giliran membaca sendiri, entah pada pertemuan ke berapa. Badan panas dingin, suara serak, pegang pelantang suara gemetar. Dan itu saya alami berkali kali. Sampai suatu saat saya merasakan berbeda. Saya begitu percaya diri, suara tidak serak, tidak gemetar, pegang pelantang suara tidak terasa berat, hasilnya pun maksimal. Begitu kursus selesai, seperti ada beban terlepas, yang selama ini menggelayuti. Saya tidak sabar menunggu hari Minggu berikutnya.

            Ruang telah memberi waktu kepada diri saya membuka mata bahwa ada pengetahuan, menjadi manusia maju selangkah, untuk tiga tahapan ini: mengikuti kursus yang semula ragu, keberanian membaca sendiri, dan menemukan membaca nikmat. Sebab begitulah manusia selayaknya, senantiasa membuka diri.

@@@


 

Jumat, 05 Desember 2025

Penantian Suroso

                                                                                         

           Bosan. Itu keadaan saya alami suatu ketika. Selama ini saya menulis cerpen-cerpen kontemporer. Ide-ide timbul dari pengalaman sendiri, atau mendengar cerita-cerita orang lain. Bosan menggerakkan pikiran saya untuk mencari sesuatu lain, keluar dari lingkaran yang selama ini melingkari, melihat dunia baru, dan berharap memperluas model karya.

            Seperti biasa, membaca adalah kebutuhan sehari-hari saya, dan hari Minggu saatnya membaca koran cetak. Saya membaca karya atau cerpen berbeda. Kali ini berlatar belakang sejarah. Saya mendapat wawasan baru, menjadi bersemangat, dan menantang pada diri saya, mengapa saya tidak menulis cerpen berlatar belakang sejarah. Sesuatu yang belum pernah saya kerjakan.

            Untuk mempermudah dan mendedikasikan cinta tanah kelahiran, saya akan menulis cerpen berlatar belakang sejarah Kota Semarang.

            Saya pergi ke Perpusda (Perpustakaan Daerah) Jawa Tengah. Saya naik ke lantai dua, tempat biasa saya meminjam buku. Saya bertanya kepada petugas, di mana saya bisa menemukan buku-buku tentang sejarah Kota Semarang. Petugas meminta saya turun. Di lantai satu, bagian referensi, di sana saya akan menemukan buku tentang sejarah Kota Semarang. Di bagian referensi, saya bertanya kepada petugas di mana saya bisa menemukan buku-buku sejarah Kota Semarang. Petugas menunjuki rak paling depan. Saya menemukan buku yang saya cari.

Ternyata buku-buku di bagian referensi tidak boleh dibawa pulang. Saya diminta memfotokopi bagian-bagian penting. Nahas, petugas fotokopi Perpusda absen, kabarnya karena sakit. Salah satu petugas perpustakaan baik hati. Ia memberikan kunci motornya dan menyuruh petugas parkir mengantar saya di jasa fotokopi terdekat. Meski tidak dekat, karena kami harus pergi ke wilayah Undip, di sana banyak jasa fotokopi. Jalan Sriwijaya, tempat Perpusda berdiri, adalah kawasan perkantoran dan toko-toko.

                                                                          

      Cerpen ini menceritakan tentang seorang anak yang menginginkan kebebasan. Sehingga ia bersekolah dengan tenang. Ia bersekolah di Jalan Bojong, sekarang Jalan Pemuda, hingga kini sekolah itu masih ada: SMA Negeri 3.

Waktu itu penjajah Jepang masih bercokol di Indonesia, jelang Indonesia merdeka. Para Guinseikan (petinggi Jepang) sering mengitari Jalan Bojong, tempat kantor berita Domei berada, untuk memantau berita-berita penting dari jakarta.

            Alhamdulillah cerita itu berjodoh, di buku Antologi Cerpen Suara Perempuan yang diadakan oleh Arsip dan Perpustakaan Kota Semarang, setelah melalui penyesuaian, sesuai tema.

            Selamat membaca bagi teman-teman yang mendapatkan bukunya, semoga bermanfaat dan menghibur.

@@@


Jumat, 28 November 2025

Bambu Cinta Nan Menyala

                                                                                  

bambu cinta

Seringkali timbul rasa iri setiap kali saya bertamasya ke pedesaan atau melewati daerah, terhampar hijau pepohonan. Entah ladang, apalagi rumah-rumah dengan tanaman di sekelilingnya. Sementara di lingkungan rumah saya, semua lahan telah tertutup ubin atau plester. Saya pernah menanam cabe, tapi mencari tanah subur susah, akhirnya biji cabe yang saya sebar tidak tumbuh.

Suatu saat saya membaca koran. Departemen Pertanian menyelenggarakan pameran tanaman hias, anturium, dan aglaonema. Membaca kata ‘tanaman’ hati saya senang. Saya catat tanggal dan harinya.

Siang tak terik, karena sedang musim hujan, ketika saya tiba di pelataran Wonderia, tempat yang dulu pernah menjadi kebun binatang, kemudian menjadi taman hiburan anak-anak, lalu ditutup karena terjadi kecelakaan pada salah satu wahananya, setelah itu, Wonderia dibiarkan terbengkelai. Begitu saya masuk pintu gerbang pameran, kursi-kursi tertata di bagian kiri, dipayungi tenda perpaduan warna putih dan merah menyala. Di ujung ada panggung, dengan gambar sosok otoritas Kota Semarang.

“Di kantor gubenuran sedang ada acara. Sebagian dari mereka mengisi acara di sana,” kata salah satu petugas yang saya temui ketika saya bertanya mengapa suasana pameran sepi. “Biasanya sore ramai pengunjung,” tambahnya. Kemudian ia mempersilakan saya jalan ke kanan, menuju stan-stan tanaman. 

                                                                                       

tanaman anggrek

Stan pertama adalah penjual cendera mata. Cendera mata juga dijual di sana. Pedagangnya asal dari Jawa Barat.

“Saya telanjur cinta profesi. Sahabat saya, yang senasib, juga tinggal di Semarang,” kata wanita gemuk terlihat gesit. Saya terpesona mendengar ceritanya: dua sahabat, kini kembali berkolaborasi membuat kerajinan tangan, sebagaimana di daerah asal mereka. Mereka tidak mengeluh saat dipisahkan padahal bisnis sedang maju. Mereka dipertemukan lagi saat mendapat suami sama-sama orang Semarang. Kecintaan terhadap kerajinan tangan, persahabatan, membuat mereka mendapat keberuntungan. Kerajinan tangan yang dibuat sekarang bukan asal Jawa Barat, melainkan kerajinan tangan dari eksplorasi potensi Kota Semarang.

                                                                         

                                                                           tanaman anturium

Sesuai tema pameran, hanya satu dua penjual cendera mata, selebihnya stan-stan tanaman. Beberapa stan menjual jenis-jenis tanaman anggrek. Stan-stan lain menjual jenis-jenis anthurium dan aglaonema. Sejauh saya memandang, jenis-jenis anturium dan aglaonema hanya tanaman daun. Tapi satu tanaman dalam satu pot kecil harganya hingga jutaan.

“Sudah dipasang tarip tinggi, giliran akan dibayar pembeli, malah katanya buat koleksi sendiri,” kata karyawan terkekeh, seorang lelaki berpostur tinggi besar, yang semula saya kira pemilik tanaman. Karyawan itu baru saja menelepon pemiliknya. Akhirnya karyawan menyatakan bahwa tanaman-tanaman di meja depan hanya dipamerkan.

“Begitulah cinta,” kata calon pembeli sambil tertawa, kemudian memilih aglaonema jenis lain.

                                                                         

tanaman bonsai

Ada juga pameran tanaman bonsai, yang tergabung dalam komunitas tanaman bonsai. Para penjual tanaman hias sadar diri, era digital, ponsel menjadi andalan setiap orang, pengunjung diperbolahkan swafoto walau tidak membeli.

Saya tertegun pada tanaman yang dirangkai sedemikian rupa, membentuk daun waru sebagai lambang cinta.

“Ini namanya bambu cinta,” katanya ketika saya tanya tanaman apa itu. Tanaman bambu, dibentuk khusus, lalu diberi pita merah, ia menamainya bambu cinta.

“Bapak tidak saying, misal dirusak oleh hama, tikus, misalnya,” kata saya.

“Oh, tidak, tikus saya ajak bicara, ‘tikus jangan dirusak ya, kamu cari makan di tempat lain,’. Nyatanya tidak dimakan. Aman saja. Itu buktinya.”

                                                                                 

tanaman aglaonema

Satu jam lebih saya melihat-lihat pameran tanaman hias. Dalam perjalanan pulang, saya merasakan pemilik bambu cinta mewakili orang-orang yang dengan cinta telah menemukan sesuatu berharga dalam hidup mereka. Wanita yang menekuni hobi kerajinan tangan dan kembali berkolaborasi dengan sahabatnya, pemilik tanaman yang tak menjual sebagian asetnya, dan pemilik bambu cinta yang tak membunuh binatang sebagai musuh manusia, melainkan berbicara dengan setulus hati. Cinta memberi energi orang-orang untuk berdamai dengan kesulitan, dan akhirnya menemukan keasyikan dalam hidup mereka.

Saatnya saya berdamai dengan yang ada.

@@@



 


Jumat, 14 November 2025

Taman Watu Gajah

                                                                                           

ikon Taman Watu Gajah

         Sopir segera melajukan mobil seiring ketidaksabaran kami melihat tempat wisata berikutnya. Kami dari wisata religi kemudian mampir sebuah pasar di Salatiga. Ini tempat wisata baru, setidaknya bagi rombongan kami. Dingin di dalam mobil oleh mesin pendingin berkebalikan dengan hati kami yang menyala ingin segera sampai di tempat wisata itu: Taman Watu Gajah atau Park Watu Gajah.

            Satu jam berikutnya mobil tiba di tempat parkir, di depan tempat wisata. Sebagaimana namanya, dari jauh terlihat patung gajah. Patung gajah itu duduk berpayung jamur, di atas bangunan berdinding batu, serupa rumah kurcaci, seluas tempat loket pada umumnya. Selanjut saya menemui banyak patung gajah di dalam arena wisata. Harga tiket per orang Rp30.000,00 karena kami bepergian weekend, Rp25.000,00 untuk weekday, jam buka 08.00-17.00. Taman Watu Gajah terletak di Dusun Watugajah, Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang.

            “Monggo… silakan…,” sapa seorang perempuan muda dengan ramah, mengenakan kerudung, celana blue jeans dan kemeja gombrong, berdiri di belakang pintu gerbang, menyambut kedatangan setiap pengunjung.

Kami melewati lorong, sekitar seratus meter, menuju ke dalam, berdinding kawat-kawat di kanan kiri, sekaligus sarana tumbuh-tumbuhan merambat. Payung-payung warna warni dipajang sebagai kanopi, mengajak setiap pengunjung menikmati setiap detail tempat wisata. 

                                                                                 

Kolam 9 Bidadari

          Pukul dua belas siang tak menyurutkan kami melanjutkan berwisata alam dan menunda makan siang. Keluar dari Lorong kami dihadapkan pada Kolam 9 Bidadari. Seperti biasa, saya berfoto, mengambil sisi paling menarik. Tidak jauh dari Kolam 9 Bidadari ada patung gajah sebagai ikon tempat wisata Taman Watu Gajah, kemudian Lorong Cinta, Sangkar Burung Pipit, dan Istana Catur. Masuk ke dalam lagi adalah berbagai wahana air, wisata paling disukai anak-anak.

Istana Catur

            “Ayo kita main catur!” ajak seorang pengunjung, berseragam olahraga salah satu SD, saat tiba di Istana Catur.

            “Wah, semua ukurannya besar,” ungkap temannya kagum.

            Mereka datang berombongan, mungkin bersama guru-guru dan teman-teman satu kelasnya.

            Tempat edukasi lain bagi anak-anak adalah Goa Kingkong. Dari sana mereka tahu  kehidupan zaman dulu. Bagi yang suka berkebun disediakan hortikultura sayur dan hidroponik farm kebun.

            Taman Watu Gajah juga memanjakan para orangtua dengan Wisata Panci. Saya bersamaan dengan para orangtua, masuk di sebuah gedung luas. Di dalamnya dijual aneka panci. Meski demikian, ada juga alat-alat rumah tangga selain panci, seperti termos, kipas angin, kaca cermin, meja lipat, dll. Di depan gedung, sebelum masuk, sempat saya baca, harga grosir. Mungkin harga barang-barang itu murah dibanding harga-harga di tempat-tempat lain. Saya tidak membuktikan, begitupun teman-teman satu rombongan. Kami penasaran ingin tahu Wisata Panci. 

Sangkar Burung Pipit

       Kami salat setelah puas berwisata. Musalanya bersih. Saya mengibas-ngibaskan kedua tangan sesaat, begitu menyentuh air, terasa dingin walau siang hari.

            Setelah itu kami makan siang. Ada banyak menu makanan dan minuman pilihan di kafe. Sambil menunggu pesanan bakso, salah satu dari kami berempat membeli kentang goreng seharga Rp10.000,00. Dan menikmati bersama. Kami tidak membawa bekal makanan dan minuman dari rumah, sebagaimana para pengunjung lain. Tidak sabar menahan lapar, kami langsung menyantap pesanan. Semangkuk bakso seharga Rp17.000,00. Sebagai hidangan penutup, saya menikmati  es krim tiga rasa, dengan membayar Rp10.000,00

Di seberang kafe ada sebuah toko oleh-oleh. Toko itu menjual aneka model tas anyaman berbahan plastik, dan camilan-camilan. Saya tak membeli apa pun karena kedekatan geografis tak ada makanan spesial. Kami pulang dengan rasa puas mengunjungi Taman Watu Gajah.

@@@




Jumat, 31 Oktober 2025

Serabi Ngampin

                                                                                        

Jalan Ngampin, Ambarawa, menyambut kedatangan saya dengan cuacanya yang cerah. Walaupun matahari tak menampakkan wajahnya, sinarnya menghangatkan tubuh. Lalu lintas ramai. Jalan Ngampin dilalui kendaraan-kendaraan dari dalam dan luar kota. Kanan kiri Jalan Ngampin terdapat tempat peribadatan dan perkantoran. Saya menyusuri sisi kiri jalan dari arah Semarang, berniat membeli serabi ngampin, makanan khas Ambarawa.  

Sepuluh menit saya berjalan, tak ada satu pun penjual serabi ngampin, di kanan kiri jalan, sebagaimana keterangan penduduk setempat.

“O mau nyari srabi ngampin? Masih jauh. Naik angkot, tuh!” jelas pedagang buah-buahan di mobil terbuka yang saya temui, ketika saya mengutarakan niat. Dalam waktu bersamaan mobil angkot berwarna kuning melintas. Pedagang buah melambaikan tangan. Mobil berhenti; saya naik.

Benar kata pedagang buah, tidak mungkin kaki saya berjalan hingga menemui  penjual-penjual serabi ngampin. Saya minta berhenti di depan penjual serabi ngampin seorang diri. Dengan demikian, saya leluasa mengulik serabi ngampin. Sebab ada satu kedai luas, diisi beberapa pedagang serabi  ngampin.

 Kami saling menyapa akrab, bertanya kabar. Saya duduk di depannya, di dingklik kayu. Pedagangnya seorang wanita. Keramahannya tidak saja ia sebagai pedagang, namun juga tuan rumah, yang ingin menjamu tamunya, khas penduduk desa. Saya ditawari mencicipi, begitu serabi matang dari cetakan. Padahal sudah saya utarakan bahwa saya hanya membeli satu porsi dan saya makan di tempat. Saya menolak. Saya minta seporsi sesuai keinginan.

Akhirnya saya mendapatkan semangkuk serabi ngampin. Isinya lima buah, 3 rasa 3 warna: gurih warna putih, pandan warna hijau, cokelat warna cokelat. Teksturnya lembut dan empuk. Berbeda dengan serabi-serabi lain, serabi ngampin ditambah juruh atau kuah. Rasanya gurih dan manis, terbuat dari santan dan saus gula merah.

“Kenapa mesti tepung beras baru? Bukankah di warung dan di pasar dijual tepung beras?” tanya saya ketika ia menjelaskan bahwa tepung beras serabi ngampin harus baru. Artinya, baru saja keluar dari mesin penggilingan beras. Setiap kali akan berjualan, ia menggilingkan beras di penggilingan beras tetangganya.  

“Rasanya beda. Tepung beras di warung atau di pasar terkadang apek. Dan kalau diadoni suka ada printilan. Akhirnya nanti terbawa, tepung beras belum matang, di serabi yang sudah matang.”

Saya mengangguk-angguk. Saya hanya tahu serabi ngampin lezat. Ditambah sesendok demi sesendok menikmati kuahnya. Tidak lama seorang lelaki menghentikan sepeda motornya di depan kedai. Ia membeli dua bungkus. Plastik mika sebagai bungkus jika pembeli ingin membawa pulang. Isinya sama, lima buah serabi ditambah juruh yang dibungkus kantung plastik bening. Kemudian ia melajukan sepeda motornya setelah membayar.

“Memasak pakai tungku juga membuat serabi menjadi lezat,” lanjutnya kembali bercerita. Seperti pembelaan diri bahwa ia juga diuntungkan karena tidak perlu menggunakan gas LPG sebagaimana memakai kompor. Di lingkungnnya bahan bakar kayu lebih mudah didapat dibanding gas LPG, harganya pun murah.

            Tidak terasa sambil mendengarkan cerita, semangkuk serabi ngampin di tangan saya tak tersisa setetes pun. Perut kenyang hanya membayar Rp7.000,00. Saya pulang, dengan harapan suatu saat kembali menikmati serabi ngampin dan kuahnya yang lezat.

@@@


Jumat, 17 Oktober 2025

Ganti Suasana

                                                                                               

            Saya selalu bersemangat setiap hari Minggu tiba. Ada satu kegiatan yang saya nanti satu minggu: belajar seni baca Alquran atau membaca Alquran yang dilagukan. Saya terlambat mengetahuinya. Lebaran tahun ini saya baru mengikutinya. Program ini ada sejak 2018, di masjid tidak jauh dari rumah.

            Namun tidak Minggu ini, ketika saya teringat, Pak Ustaz yang mengajar sedang umroh. Beliau izin beberapa pekan. Beliau tidak mengatakan berapa lama beribadah di tanah suci, dan pesan terakhirnya, agar kami tetap datang pada hari dan jam sama.

Udara panas semakin terasa. Debu-debu diterbangkan angin di antara  pertokoan sekitar Masjid Agung Semarang. Benar, ada yang mengisi, dari pelantang suara yang saya dengar. Saya terlambat seperempat jam dari jadwal, hal yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya. Saya duduk begitu saja, di area wanita, seorang diri. Tiga teman lelaki khusuk mengikuti. Selesai membaca satu ayat, Pak Ustaz Pengganti menyapa saya di balik tirai kain hijau, sebagai pembatas lelaki perempuan, setinggi bahu orang duduk. Saya diminta menyesuikan, pembacaan ayat suci berlagu dilanjut, sesuai not-notnya.

Seperempat jam jelang akhir diisi ramah tamah. Di antaranya, Pak Ustaz merekomendasikan obat tertentu jika peserta terganggu tenggorokannya. Hal yang tidak pernah saya dapatkan sebelumnya. Saya catat nama obat itu. Obat itu tidak ditelan seperti obat-obat biasa, melainkan diemut. Harganya pun murah. Suara jernih mutlak dibutuhkan ketika membacakan ayat suci berlagu.

Sepekan berikutnya, malam hari, saat saya baru saja dari alun-alun dan beristirahat di masjid, saya bertemu sesama pengunjung, seorang wanita. Kami duduk bersebelahan. Seperti biasa, saya beramah tamah setiap bertemu orang asing, sejauh keadaan memungkinkan.

“Rumahnya Semarang aja?”

“Di Genuk.”

“Ada acara khusus ke sini?”

“Saya, suami, dan anak biasa refreshing ke alun-alun setiap Sabtu Minggu.”

Kemudian ia menyatakan bahwa refreshing perlu dilakukan. Agar melakukan kegiatan hari Senin, ia, suami, dan anaknya, penuh semangat. Hasilnya pun optimal.

Saya mengangguk-angguk teringat Pak Ustaz Pengganti. Pak Ustad Penganti secara langsung atau tidak, memberi suasana segar. Hasilnya, saya mendapat rekomendasi nama obat penghalau serak.

@@@