Ini minuman bir bukan
sembarang bir. Apalagi kau bandingkan dengan bir yang bisa memabukkan seperti
dijual di pasaran. Kehangatan yang ditimbulkan justru membuat badan segar. Terlebih
kasiatnya. Rasanya agak pedas, tapi tak seperti cabe karena terbuat dari
sejumlah rempah seperti jahe, sereh, dan entah apa lagi─untuk itulah sedang
kukejar resep dan cara membuatnya─tentu saja gula sebagai pemanis. Kalau kau
tertarik, aku pun merayu Mamak untuk memberinya resep. Aku yakin kau tak dapat
menemukannya di toko online yang katanya tak pernah menolak permintaan.
Azan
Asar berkumandang beberapa waktu lalu. Aku terduduk di bangku panjang teras
tanpa sepengetahuan pemilik rumah. Tak sulit membuka selot pintu pagarnya. Siapa
pun dapat masuk dengan mudah. Ditambah pagarnya yang pendek terkesan pemiliknya
tak menjaga jarak dengan para tetangga dan mudah diajak berkomunikasi. Saking
akrabnya kami memanggilnya Mamak, sebagaimana anak-anaknya memanggilnya. Apalagi
serangkaian tanaman berbunga semarak mengelilingi pagar. Yang tidak berbunga
pun ditata sedemikian rupa. Semua menarik dipandang mata. Rumah yang asri,
terjaga pula kebersihannya.
Cahaya
matahari masih menyengat, belum satu pun anak kos yang tinggal di rumah ini kembali
bekerja. Sengaja aku tak masuk walau pintunya terbuka, sebagai privilese aku
bersedia menemani dan menyambanginya. Kubiarkan diriku menunggu di luar. Aku
sengaja datang seawal ini karena sedang kedapatan tamu bulanan sehingga tidak
terikat jadwal salat Asar. Tapi tujuan utamaku: menjadikannya salah tingkah.
Dengan
demikian, aku telah menanam investasi dan setelah investasiku terkumpul, aku akan
mengambilnya. Apalagi kalau bukan memintanya memberikan resep membuat bir. Itu
trikku, untuk merubuhkan pendiriannya yang kukuh, hanya memberikan minuman bir yang
sudah jadi dalam kemasan botol sirup kepada yang meminta. Dan aku yakin, aku
akan memenangkan perseteruan ini. Inilah saatnya aku beraksi, merealisasikan
hasrat yang sudah setahun terpendam, tepatnya sejak pandemi melandai.
Memang
tidak libur seratus persen sebagaimana siswa. Terlebih libur akhir tahun ajaran,
saatnya sekolah mencari peserta didik baru. Tapi kami bekerja hanya setengah
hari, berbeda saat mengajar, sore hari baru selesai. Tidak saja kesiapan dari
diriku sendiri, semesta kiranya ikut mendukung. Ada kenalan, tetangga kampung
yang kesripahan dan mengundang siapapun yang punya waktu untuk tahlil. Di
kampung ini, tahlil dan pengajian dilakukan sehabis magrib. Sore hari, ibu-ibu rumah
tangga sibuk merampungkan pekerjaan rumah, apalagi yang bekerja. Ketika tadi
malam begitu ada pengumuman undangan tahlil─aku yang jarang mengikuti acara
kampung, termasuk menalihkan orang meninggal─tiba-tiba mendatangi rumahnya dan
menawarkan diri mengajaknya pergi tahlil bersama, Mamak seperti mendapat undian
arisan.
Kendati
tanpa aku dia tetap berangkat, tapi jalan bersama teman bagi orang tua pastilah
lebih nyaman, setidaknya ada yang diajak mengobrol saat di jalan. Kebetulan
saat ini aku terbebas dari kesibukan sehari-hari. Dan aku akan membersamainya
hingga hari ke tujuh atau menurut perhitungan: tahlil akan berlangsung sebanyak
enam hari.
“Lho
kok duduk di luar?” sapanya penuh atraktif sambil membetulkan kerudung
instannya agar nyaman dipakai, begitu keluar mendapatiku duduk dengan senyum-senyum.
“Pintunya sengaja Mak buka.”
“Ah,
nggak pa pa, Mak,” jawabku melegakan hatinya. “Sambil cari angin.” Tapi tetap
saja dia merasa sungkan: pertama karena ditunggu, kedua kenapa aku tidak masuk
layaknya seorang tamu.
Sebagaimana
aku yang tidak suka basa basi karena tak nyaman datang di sebuah acara datang
terlambat, dia pun punya pikiran sama, kami gegas berangkat. Dengan baju gamis
marun senada warna kerudung, jalan Mamak masih sigap. Kubayangkan berjalan
bersama nenek jika saja beliau masih hidup. Dalam usia Mamak yang sudah uzur memiliki
tubuh sehat pastilah harta berharga.
“Mak... ajari saya bikin bir. Mak kan ahlinya
di kampung ini,” pintaku giliran bicara setelah panjang lebar dia mengatakan sebelum
berangkat tadi menerima telepon dari cucunya perihal keadaannya.
Tanpa
menjawab dengan kata-kata. Dia senyum-senyum.
“Mak
senyum-senyum, berarti Mak bersedia. Kapan Mak, hari dan jamnya. Kebetulan saya
lagi tidak mengajar. Piket saja, siang hari sudah pulang,” tambahku.
gambar: kompas.id
Sekali
lagi Mamak hanya menanggapi dengan senyum-senyum. Hingga langkah kami keluar
kampung menuju kampung tetangga yang kesripahan. Kami bertemu jamaah lain.
Tentu saja aku tahu diri, berjalan mengiringi mereka di belakangnya. Mungkin
hanya aku yang masih muda.
Apakah
kau sependapat bahwa usahaku berbuah manis? Aku sudah jelaskan setiap hari aku
punya banyak waktu lowong. Itu berarti aku memang sangat ingin bisa membuat
minuman khas itu. Berbeda dengan pengalaman ibu-ibu yang aku dengar. Beberapa
di antara mereka memohon kepada Mamak. Tapi tak satu pun permohonannya
ditanggapi. Mungkin karena menurut Mamak, permintaannya itu hanyalah iseng,
maka Mamak tak perlu menanggapi dengan serius pula. Berbeda dengan aku, menyediakan
waktu khusus, menemaninya tahlil hingga berhari-hari. Kalau pun tidak praktik,
setidaknya Mamak bersedia memberikan resepnya, sepuluh jenis rempah ditambah
gula pasir, itu keterangan yang diberikan kepada ibu-ibu untuk membuat bir.
Tapi sepuluh jenis rempah itu apa saja dan bagaimana cara membuatnya, Mamak tak
pernah membeberkan.
“Orang-orang
kuno” termasuk nenekku yang tak pernah kutemui─begitu Mamak mengistilahkan
orang-orang sebelum dan seangkatannya─biasa membuat minuman bir. Tentu saja
tidak termasuk ibuku yang meninggal saat melahirkanku dan ayah menyusul
beberapa tahun lalu setelah sekian lama hidup berdua denganku. Sehingga aku tak
tahu menahu tentang bir kecuali saat pandemi menimpa. Banyak orang kembali pada
obat tradisional untuk menghalau virus itu, Mamak tak mau kalah. Sebagai
satu-satunya generasi orang kuno yang masih hidup, Mamak membagikan minuman
rempah yang lain dari yang lain termasuk yang dijual di kedai-kedai minuman:
bir.
Bir
dibuat untuk menyamai minuman anggur atau wine
dari Eropa. Terasa hangat saat diminum, tetapi tidak memabukkan sebagaimana
minum minuman keras. Bukankah orang-orang Eropa juga ada yang tinggal di
Semarang, zaman itu? Jadi wajarlah kalau orang-orang kuno Semarang juga ingin
memiliki minuman yang bisa menghangatkan badan. Kami pun manggut-manggut
mendengar keterangan Mamak.
Minuman
yang hangat dan lain daripada yang lain itu diberikan Mamak dalam ceret. Kami
menuangkannya panas-panas ke dalam gelas-gelas. Saat itu ada dapur umum.
Berpengaruh atau tidak bir, yang jelas seluruh warga kampung tidak ada yang tertular
virus COVID-19. Merasakan efeknya yang membuat badan menjadi hangat dan segar,
kami ketagihan padahal Mamak tak lagi membuat seiring pandemi melandai dan tak
ada dapur umum. Satu dua ibu meminta resep agar tak merepotkan Mamak. Akan
tetapi, Mamak tak pernah memberikan. Tahu-tahu, beberapa hari kemudian, sebotol
bir diberikan kepada yang meminta.
Tapi
tidak dengan aku. Apa yang tidak bisa buatku. Pedagang es gempol, yang sangat
tertutup, bisa kuulik kemudian memberikan resepnya. Pedagang gulai kambing yang
kuahnya tidak kental tetapi juga tidak encer, dan itu sangat aku suka, ketika
aku tanya resepnya, juga memberikan. Begitupun pedagang makanan dan minuman
lain, tak pernah membuatku kecele demi memenuhi kegemaranku memasak masakan nusantara.
Maka pada waktu longgar kali ini kumanfaatkan membuat bir. Supaya aku dapat
merasakan kembali sensasi aneka rempah yang terasa hangat dan segar itu.
Hari
kedua kembali aku samperi rumahnya. Kutagih janjinya. Aku tidak boleh gagal.
“Iya,
tenang saja,” jawabnya seperti biasa sambil senyum-senyum.
Aku
tetap tidak terima ketika dia mengatakan bahwa apa gunanya bir bagi orang muda
semacamku. Bukankah banyak pilihan minuman modern dijual di supermarket?
Kujawab aku tetap bersikeras Mamak mengajariku membuat bir. Justru bir tidak
dijual aku ingin bisa membuatnya sendiri. Aku rindu minum bir.
Hari
ketiga kupaksa Mamak untuk menuliskan di secarik kertas sepulang tahlil. Aku
sengaja tidak menyodorkan gawai yang lebih praktis era digital saat ini. Lagi-lagi
Mamak hanya senyum-senyum.
“Kalau
Mamak tidak ada waktu sekarang, boleh kertas dan pulpen ini disimpan. Besok kan
kita masih ketemu. Lalu berikan saya,” ungkapku merasa sungkan bernada
memerintah orang tua.
“Iya,
iya, Mamak janji, tapi tidak besok. Hari terakhir setelah acara tahlil
selesai,” janjinya sebelum kami berpisah. Kali ini aku yang senyum-senyum.
Nyes!
Akhirnya aku akan mendapatkan resep minuman yang satu kampung ini gagal
mendapatkan. Sebotol bir akan selalu tersimpan di kulkas, tanpa bergantung
kepada orang lain. Saat ingin menikmati, aku tinggal menuangkan secukupnya di
gelas lalu menambahkan air panas. Hm, minuman rasa rempah yang hangat, sedikit
pedas, manis, ah pokoknya tiada duanya.
Hari
keenam. Itu berarti tahlil terakhir untuk yang meninggal. Sepulang tahlil, seperti
yang dijanjikan, aku dipersilakannya masuk, duduk di ruang tamu. Kupandangi
satu dus makanan, puncak rasa terima kasih dari yang punya hajat, setelah
berhari-hari selalu memberi dua kue dalam plastik mika. Kupastikan berisi roti
dari nama toko tertera. Andai resep itu diberikan tiga hari lalu saat aku
menyodorkan kertas dan pulpen, pasti nanti malam aku dapat menikmati roti
ditemani minuman bir yang hangat. Ah, segera kutepis pikiran “andai”. Sebab aku
dapat membuatnya sepulang dari sini.
Tidak
lama waktu berselang, berdiri seseorang di depanku. Sambil senyum-senyum, tanpa
rasa bersalah dia berkata,
“Ini,
dibawa, tinggal menikmati. Tak usah sungkan.”
Kusambut
sebotol bir dengan senyum memaksa.
Matahari
meredup mengantar kepulanganku. Jadi, apakah kau mengira, aku telah mengganggu
privasinya?
@@@
Cerpen ini pernah terbit
di kompas.id, Kamis 10 Agustus 2023