Iis Soekandar

Jumat, 14 November 2025

Taman Watu Gajah

                                                                                           

ikon Taman Watu Gajah

         Sopir segera melajukan mobil seiring ketidaksabaran kami melihat tempat wisata berikutnya. Kami dari wisata religi kemudian mampir sebuah pasar di Salatiga. Ini tempat wisata baru, setidaknya bagi rombongan kami. Dingin di dalam mobil oleh mesin pendingin berkebalikan dengan hati kami yang menyala ingin segera sampai di tempat wisata itu: Taman Watu Gajah atau Park Watu Gajah.

            Satu jam berikutnya mobil tiba di tempat parkir, di depan tempat wisata. Sebagaimana namanya, dari jauh terlihat patung gajah. Patung gajah itu duduk berpayung jamur, di atas bangunan berdinding batu, serupa rumah kurcaci, seluas tempat loket pada umumnya. Selanjut saya menemui banyak patung gajah di dalam arena wisata. Harga tiket per orang Rp30.000,00 karena kami bepergian weekend, Rp25.000,00 untuk weekday, jam buka 08.00-17.00. Taman Watu Gajah terletak di Dusun Watugajah, Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang.

            “Monggo… silakan…,” sapa seorang perempuan muda dengan ramah, mengenakan kerudung, celana blue jeans dan kemeja gombrong, berdiri di belakang pintu gerbang, menyambut kedatangan setiap pengunjung.

Kami melewati lorong, sekitar seratus meter, menuju ke dalam, berdinding kawat-kawat di kanan kiri, sekaligus sarana tumbuh-tumbuhan merambat. Payung-payung warna warni dipajang sebagai kanopi, mengajak setiap pengunjung menikmati setiap detail tempat wisata. 

                                                                                 

Kolam 9 Bidadari

          Pukul dua belas siang tak menyurutkan kami melanjutkan berwisata alam dan menunda makan siang. Keluar dari Lorong kami dihadapkan pada Kolam 9 Bidadari. Seperti biasa, saya berfoto, mengambil sisi paling menarik. Tidak jauh dari Kolam 9 Bidadari ada patung gajah sebagai ikon tempat wisata Taman Watu Gajah, kemudian Lorong Cinta, Sangkar Burung Pipit, dan Istana Catur. Masuk ke dalam lagi adalah berbagai wahana air, wisata paling disukai anak-anak.

Istana Catur

            “Ayo kita main catur!” ajak seorang pengunjung, berseragam olahraga salah satu SD, saat tiba di Istana Catur.

            “Wah, semua ukurannya besar,” ungkap temannya kagum.

            Mereka datang berombongan, mungkin bersama guru-guru dan teman-teman satu kelasnya.

            Tempat edukasi lain bagi anak-anak adalah Goa Kingkong. Dari sana mereka tahu  kehidupan zaman dulu. Bagi yang suka berkebun disediakan hortikultura sayur dan hidroponik farm kebun.

            Taman Watu Gajah juga memanjakan para orangtua dengan Wisata Panci. Saya bersamaan dengan para orangtua, masuk di sebuah gedung luas. Di dalamnya dijual aneka panci. Meski demikian, ada juga alat-alat rumah tangga selain panci, seperti termos, kipas angin, kaca cermin, meja lipat, dll. Di depan gedung, sebelum masuk, sempat saya baca, harga grosir. Mungkin harga barang-barang itu murah dibanding harga-harga di tempat-tempat lain. Saya tidak membuktikan, begitupun teman-teman satu rombongan. Kami penasaran ingin tahu Wisata Panci. 

Sangkar Burung Pipit

       Kami salat setelah puas berwisata. Musalanya bersih. Saya mengibas-ngibaskan kedua tangan sesaat, begitu menyentuh air, terasa dingin walau siang hari.

            Setelah itu kami makan siang. Ada banyak menu makanan dan minuman pilihan di kafe. Sambil menunggu pesanan bakso, salah satu dari kami berempat membeli kentang goreng seharga Rp10.000,00. Dan menikmati bersama. Kami tidak membawa bekal makanan dan minuman dari rumah, sebagaimana para pengunjung lain. Tidak sabar menahan lapar, kami langsung menyantap pesanan. Semangkuk bakso seharga Rp17.000,00. Sebagai hidangan penutup, saya menikmati  es krim tiga rasa, dengan membayar Rp10.000,00

Di seberang kafe ada sebuah toko oleh-oleh. Toko itu menjual aneka model tas anyaman berbahan plastik, dan camilan-camilan. Saya tak membeli apa pun karena kedekatan geografis tak ada makanan spesial. Kami pulang dengan rasa puas mengunjungi Taman Watu Gajah.

@@@




Jumat, 31 Oktober 2025

Serabi Ngampin

                                                                                        

Jalan Ngampin, Ambarawa, menyambut kedatangan saya dengan cuacanya yang cerah. Walaupun matahari tak menampakkan wajahnya, sinarnya menghangatkan tubuh. Lalu lintas ramai. Jalan Ngampin dilalui kendaraan-kendaraan dari dalam dan luar kota. Kanan kiri Jalan Ngampin terdapat tempat peribadatan dan perkantoran. Saya menyusuri sisi kiri jalan dari arah Semarang, berniat membeli serabi ngampin, makanan khas Ambarawa.  

Sepuluh menit saya berjalan, tak ada satu pun penjual serabi ngampin, di kanan kiri jalan, sebagaimana keterangan penduduk setempat.

“O mau nyari srabi ngampin? Masih jauh. Naik angkot, tuh!” jelas pedagang buah-buahan di mobil terbuka yang saya temui, ketika saya mengutarakan niat. Dalam waktu bersamaan mobil angkot berwarna kuning melintas. Pedagang buah melambaikan tangan. Mobil berhenti; saya naik.

Benar kata pedagang buah, tidak mungkin kaki saya berjalan hingga menemui  penjual-penjual serabi ngampin. Saya minta berhenti di depan penjual serabi ngampin seorang diri. Dengan demikian, saya leluasa mengulik serabi ngampin. Sebab ada satu kedai luas, diisi beberapa pedagang serabi  ngampin.

 Kami saling menyapa akrab, bertanya kabar. Saya duduk di depannya, di dingklik kayu. Pedagangnya seorang wanita. Keramahannya tidak saja ia sebagai pedagang, namun juga tuan rumah, yang ingin menjamu tamunya, khas penduduk desa. Saya ditawari mencicipi, begitu serabi matang dari cetakan. Padahal sudah saya utarakan bahwa saya hanya membeli satu porsi dan saya makan di tempat. Saya menolak. Saya minta seporsi sesuai keinginan.

Akhirnya saya mendapatkan semangkuk serabi ngampin. Isinya lima buah, 3 rasa 3 warna: gurih warna putih, pandan warna hijau, cokelat warna cokelat. Teksturnya lembut dan empuk. Berbeda dengan serabi-serabi lain, serabi ngampin ditambah juruh atau kuah. Rasanya gurih dan manis, terbuat dari santan dan saus gula merah.

“Kenapa mesti tepung beras baru? Bukankah di warung dan di pasar dijual tepung beras?” tanya saya ketika ia menjelaskan bahwa tepung beras serabi ngampin harus baru. Artinya, baru saja keluar dari mesin penggilingan beras. Setiap kali akan berjualan, ia menggilingkan beras di penggilingan beras tetangganya.  

“Rasanya beda. Tepung beras di warung atau di pasar terkadang apek. Dan kalau diadoni suka ada printilan. Akhirnya nanti terbawa, tepung beras belum matang, di serabi yang sudah matang.”

Saya mengangguk-angguk. Saya hanya tahu serabi ngampin lezat. Ditambah sesendok demi sesendok menikmati kuahnya. Tidak lama seorang lelaki menghentikan sepeda motornya di depan kedai. Ia membeli dua bungkus. Plastik mika sebagai bungkus jika pembeli ingin membawa pulang. Isinya sama, lima buah serabi ditambah juruh yang dibungkus kantung plastik bening. Kemudian ia melajukan sepeda motornya setelah membayar.

“Memasak pakai tungku juga membuat serabi menjadi lezat,” lanjutnya kembali bercerita. Seperti pembelaan diri bahwa ia juga diuntungkan karena tidak perlu menggunakan gas LPG sebagaimana memakai kompor. Di lingkungnnya bahan bakar kayu lebih mudah didapat dibanding gas LPG, harganya pun murah.

            Tidak terasa sambil mendengarkan cerita, semangkuk serabi ngampin di tangan saya tak tersisa setetes pun. Perut kenyang hanya membayar Rp7.000,00. Saya pulang, dengan harapan suatu saat kembali menikmati serabi ngampin dan kuahnya yang lezat.

@@@


Jumat, 17 Oktober 2025

Ganti Suasana

                                                                                               

            Saya selalu bersemangat setiap hari Minggu tiba. Ada satu kegiatan yang saya nanti satu minggu: belajar seni baca Alquran atau membaca Alquran yang dilagukan. Saya terlambat mengetahuinya. Lebaran tahun ini saya baru mengikutinya. Program ini ada sejak 2018, di masjid tidak jauh dari rumah.

            Namun tidak Minggu ini, ketika saya teringat, Pak Ustaz yang mengajar sedang umroh. Beliau izin beberapa pekan. Beliau tidak mengatakan berapa lama beribadah di tanah suci, dan pesan terakhirnya, agar kami tetap datang pada hari dan jam sama.

Udara panas semakin terasa. Debu-debu diterbangkan angin di antara  pertokoan sekitar Masjid Agung Semarang. Benar, ada yang mengisi, dari pelantang suara yang saya dengar. Saya terlambat seperempat jam dari jadwal, hal yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya. Saya duduk begitu saja, di area wanita, seorang diri. Tiga teman lelaki khusuk mengikuti. Selesai membaca satu ayat, Pak Ustaz Pengganti menyapa saya di balik tirai kain hijau, sebagai pembatas lelaki perempuan, setinggi bahu orang duduk. Saya diminta menyesuikan, pembacaan ayat suci berlagu dilanjut, sesuai not-notnya.

Seperempat jam jelang akhir diisi ramah tamah. Di antaranya, Pak Ustaz merekomendasikan obat tertentu jika peserta terganggu tenggorokannya. Hal yang tidak pernah saya dapatkan sebelumnya. Saya catat nama obat itu. Obat itu tidak ditelan seperti obat-obat biasa, melainkan diemut. Harganya pun murah. Suara jernih mutlak dibutuhkan ketika membacakan ayat suci berlagu.

Sepekan berikutnya, malam hari, saat saya baru saja dari alun-alun dan beristirahat di masjid, saya bertemu sesama pengunjung, seorang wanita. Kami duduk bersebelahan. Seperti biasa, saya beramah tamah setiap bertemu orang asing, sejauh keadaan memungkinkan.

“Rumahnya Semarang aja?”

“Di Genuk.”

“Ada acara khusus ke sini?”

“Saya, suami, dan anak biasa refreshing ke alun-alun setiap Sabtu Minggu.”

Kemudian ia menyatakan bahwa refreshing perlu dilakukan. Agar melakukan kegiatan hari Senin, ia, suami, dan anaknya, penuh semangat. Hasilnya pun optimal.

Saya mengangguk-angguk teringat Pak Ustaz Pengganti. Pak Ustad Penganti secara langsung atau tidak, memberi suasana segar. Hasilnya, saya mendapat rekomendasi nama obat penghalau serak.

@@@


Jumat, 10 Oktober 2025

Nasi Tumpang

                                                                                                

          Saya suka makan. Bukan saja karena saya manusia dan untuk mempertahankan hidup di antaranya butuh makan. Terkadang saya datang ke suatu tempat hanya untuk menikmati makanan tertentu, karena hanya daerah itu menjual makanan tersebut. Terkadang saya datang ke warung tertentu, karena warung tersebut representatif bagi saya, jauh dari gangguan pengamen dan teguran para tetangga, yang itu bisa mengganggu makan saya. Dan alasan-alasan lain, yang intinya untuk mendukung kegiatan makan saya.

Nasi tumpang termasuk makanan kesukaan saya. Ia makanan khas Ambarawa, Kabupaten Semarang. Saya makan pertama kali secara tak sengaja. Suatu saat, setelah tamasya, saya lapar. Posisi saya berada di pasar. Saya masuk di salah satu warung. Saya mengenal semua makanan dari daftar menu yang tertempel di dinding, termasuk nasi tumpang.

Sependek saya mengenal, nama “tumpang” berkaitan dengan sambal tumpang: sambal diberi tempe semangit yang dihaluskan, lalu diberi santan. Dan lama saya tak menyantapnya. Nasi tumpang berarti nasi putih dengan sambal tumpang. Ternyata definisi saya tentang nasi tumpang berbeda jauh dengan sambal tumpang, walaupun nama belakangnya sama, begitu nasi tumpang berada di hadapan saya.

Dua jam naik kandaraan umum, dua kali, saya sampai di warung tempat saya pertama, dan seterusnya, menyantap nasi tumpang. Saya tidak tahu dan enggan mencoba-coba warung lain, untuk makan nasi tumpang. Di warung tersebut saya cocok.

“Nasi tumpang,” pinta saya kepada penyambut, begitu saya masuk warung dan duduk di bangku kayu panjang. Depannya meja panjang. Warung sederhana. Beberapa orang sedang makan, hanya saya pembeli baru.

Seorang lelaki, pemilik sekaligus pelayan warung tersebut, meminta saya menunggu sejenak. Nasi tumpang tidak cukup nasi putih dan beberapa makanan lain dituang dalam satu piring makan. Seperti penjual menyajikan nasi rames. Ada bahan makanan yang harus diolah mendadak agar bisa dimakan hangat.

Akhirnya nasi tumpang tersaji di hadapan saya. Sepiring nasi putih, semangkuk lauk berisi tetelan dan beberapa irisan tahu kulit, dan sepiring telur dadar. Nasinya tidak pulen, tapi di situlah nikmatnya saat beradu dengan kuah manis, gurih, sambil menikmati tetelan dan tahu kulit. Apalagi kuahnya tidak pedas walaupun warnanya merah. Itu saya suka. Sesekali saya makan nasi hanya dengan telur dadar yang hangat, tanpa kuah. Dari pembicaraan para pembeli, udara masuk melalui pintu, terasa khas suasana makan dengan latar pasar tradisional.

Seperti biasa, saya ditawari nasi jika ingin menambah. Setiap kali saya menyantap nasi tumpang, timbul pertanyaan dalam benak: Apakah tarip Rp7.000,00 seporsi sesuai dengan bahan-bahan yang dibeli? Apakah penjual mendapat untung? Apalagi tidak ada bahan makanan murah sekarang. Beras, telur, tahu, tetelan, santan, dan sejumlah bumbu. Seringkali dalam kehidupan nyata, banyak hal tidak logis terjadi. Walaupun dalam membuat cerita, kelogisan dalam setiap adegan, adalah keniscayaan. Saya tersenyum masygul.

@@@


Jumat, 03 Oktober 2025

Seperti Lukisan Awan

                                                                                         

Segumpal awal menyembul di hamparan abu-abu langit pagi. Pinggirnya melengkung-lengkung mengingatkan saya ketika kecil. Melukis atau menggambar langit terlihat monoton tanpa dihiasi awan. Melukis awan menjadi keasyikan tersendiri. Awan menjadi lukisan sentral. Selanjutnya lukisan burung-burung mengepakkan sayap-sayapnya, menyempurnakan.

Kegembiraan saya tentang awan berbalik saat seorang wanita melintas di perempatan jalan menuju utara. Sementara saya akan pergi ke pasar. Jalanan lengang membuatnya melenggang bebas, dibanding lalu lintas siang yang padat. Bentuk badan, baju selutut, pipi tembam, tak bisa diingkari sosoknya. Setelah saya perhatikan, ia bukan wanita yang saya kenal.

Kemarin sore ia bertandang ke rumah saya, dan kekesalan saya belum sepenuhnya hilang. Kedatangannya selalu untuk meminta-minta. Tentu saja saya memberinya uang tidak seperti seorang pengemis sebab ia kenalan. Saya mengacuhkannya karena saya sedang menyetrika. Ia pergi mengomel seakan saya berutang padanya dan tak membayar. Sungguh terlalu!

            Saya melangkah menyusuri satu per satu deretan pedagang pasar. Ada sesuatu menggelitik ketika sampai di penjual nasi jagung langganan. Di sebelah kirinya seorang lelaki duduk di dingklik sambil membungkusi makanan jualannya: tape singkong. Ia berbekal satu dunak, berisi tape singkong, di atasnya papan untuk menjajakan tape singkong dalam kantung-kantung plastik bening. Lapaknya kontras dengan lapak nasi jagung, di meja setinggi pinggang orang dewasa. Ia menjajakan juga aneka getuk, beberapa macam pisang mentah, belum lagi tape ketan dalam bugkus daun pisang yang laris. Semua makanan jualannya, andalan. Sebab masing-masing punya penggemar sendiri-sendiri.

            “Numpang laris ya, Bu?” tanya saya sambil melirik penjual tape singkong.  

Ia tersenyum. Mungkin ia tak mau dikatakan sombong jika mengiyakan. Itu hal logis. Pedagang kecil berjualan di samping pedagang besar. Seorang pembeli dari penjual nasi jagung, kemudian juga membeli tape singkong.

Selesai membeli nasi jagung saya pergi.

Menyusuri jalan pulang ingatan saya tertuju pada penjual gorengan yang nebeng di tempat penjual aneka es, di antaranya es kuwut. Waktu itu puasa Ramadan. Rasa haus setelah tertahan seharian, minum es adalah kenikmatan. Ada empat wadah kaca besar diletakkan di meja setinggi orang dewasa. Pembeli mengantre. Sementara pedagang gorengan di sampingnya adalah pedagang kecil. Ia mengais rezeki di samping penjual es yang laris. Seringkali pembeli es juga membeli gorengannya.

Keadaan sama juga saya rasakan pada penjual aneka bakaran: sosis, bakso, dan makanan-makanan lain, semua dalam olahan bakar. Di sampingnya penjual minuman teh. Juga pedagang kecil. Para pembeli makanan aneka bakaran dan makan di tempat, pasti butuh minum. Dan pedagang minuman ketiban rezeki.

Para pedagang besar itu mudah untuk menyediakan makanan atau minuman yang dijual para pedagang kecil. Namun, rasa berbagi itulah yang mereka tunjukkan. Saya teringat wanita berbaju selutut, pipi tembam, dan kelak saya bersikap padanya. Seperti lukisan awan, memberi sesuatu bagi penikmatnya.

@@@


Jumat, 26 September 2025

Tamasya ke Puncak Gunung Telomoyo

                                                                                                

pintu gerbang ke puncak Telomoyo

               Bagi orang tinggal sehari-hari di kota, seperti saya, melihat sunset atau matahari terbenam di puncak gunung pastilah punya keasyikan tersendiri. Bayangan seorang pendaki dengan segala perlengkapannya, berjalan di jalan terjal, bebatuan, untuk mencapai puncak gunung, terlintas di benak saya. Saya dan rombongan akan pergi melihat sunset di Puncak Gunung Telomoyo.

            Kami berangkat pukul setengah dua belas siang, berniat salat Duhur dan Asar di perjalanan, sambil menikmati tempat-tempat persinggahan.

            Udara sejuk dengan matahari samar-samar menyambut kedatangan kami di Dusun Dalangan, Desa Pandean, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, tepatnya di area Gunung Telomoyo. Waktu menunjuk pukul empat sore. Sisi kanan area parkir kendaraan-kendaraan pribadi. Sisi kiri terparkir jip-jip aneka warna. Tak seperti dugaan saya, naik ke puncak gunung dengan menaiki jalan terjal, jip-jip itu siap mengantarkan wisatawan menuju ke sana. Tarip tersedia, dari Rp400.000,00 hingga Rp1.000.000,00, tergantung jumlah tempat wisata yang dikunjungi. Dengan membayar Rp15.000,00 per orang, sebagai biaya masuk tempat wisata, kami berlima, ditambah sopir, mengendarai jip menuju Puncak Gunung Telomoyo.

                                                                                       

persewaan jip-jip siap mengantar para wisatawan

             Samar-samar hujan rintik turun ketika jip baru saja melewati gardu tiket pembayaran. Tapi terpal sebagai atap jip membuat saya tenang, jika tiba-tiba hujan turun deras. Syukurlah, beberapa menit berikutnya, tak setetes pun air turun dari langit. 

                                                                                    

Gunung Andong terlihat dari tempat parkir

              Bunga-bunga bermekaran berwarna pink; sebagian lagi bunga-bunga berwarna kuning dari tanaman lain. Warna-warna itu sangat kontras dengan hijau daun-daunnya. Pemandangan berikut pohon-ponon pinus menjulang tinggi di kanan kiri jalan. Suasana menyenangkan, kecuali suara berisik klakson setiap beberapa menit, seiring mobil akan membelok. Tujuannya agar tidak bertabrakan saat berpapasan dengan mobil lawan arah.

            Mobil terus menaiki jalan, dan semakin ke atas. Kok tidak ada adelweis? tanya saya. Edelweis identik dengan puncak gunung. Puncak Gunung Telomoyo kurang tinggi, jadi tidak ada edelweis, jawab sopir. Saya manggut-manggut.

            Setengah jam berikutnya kami tiba di Puncak Gunung Telomoyo. Begitu turun dari mobil, pernyataan sopir membuat kami tercengang.

            “Kita tidak bisa lihat sunset. Kabut keburu datang.”

            Ada perasaan kecewa tidak tersampaikan tujuan. Gunung Sindoro, Gunung Merbabu, Gunung Sumbing, juga tertutup kabut. Hanya Gunung Andong sempat saya foto karena letaknya di bawah dekat parkir kendaraan. Tapi berada di puncak gunung bersama wisatawan-wisatatan lain, cukup menghibur kami. Kapan lagi berada di puncak gunung kalau tidak di Puncak Gunung Telomoyo, dengan segala kemudahannya. Banyak jip-jip mengantarkan rombongan terparkir di pinggir-piggir jalan. Begitu pun sepeda motor bagi yang bepergian berdua. Para pedagang mi instan dan minuman-minuman saset sibuk melayani para wisatawan.

Akhirnya kami memutuskan turun, mencari kafe. 

                                                                          

salah satu spot foto di kafe

         Kami memilih kafe representatif, selain tempat beristirahat, juga terdapat spot-spot foto menawan. Biaya masuk sepuluh ribu per orang. Terasa ngeri ketika saya berada di tempat berlantai kaca, saya bayangkan jika lantai itu retak lalu pecah, kemudian saya terjatuh di jurang. Maksimal delapan orang berada di tempat itu.

            Berada di tempat dingin, makanan tepat dan mudah adalah mi instan. Sayang kami harus mengantre panjang. Kami putuskan turun, setelah puas berfoto. Mungkin malam hari kami baru sampai di basecamp jika tetap ingin menyantap mi rebus. Kembali pertanyaan saya ajukan ketika jip berpapasan dengan mobil pribadi, dalam perjalanan pulang. Saya protes, awalnya kami akan naik mobil sendiri ke Puncak Gunung Telomoyo. Tapi petugas melarang dan harus sewa jip. Itu pemilik kafe. Biasanya mengantar karyawan, pergantian sip, jawabnya.

            Apa pun kendaraannya, melihat pemandangan melalui Puncak Gunung Telomoyo adalah pengalaman tak terlupakan. Hingga tak terasa kami sampai di basecamp.

@@@




Jumat, 19 September 2025

Cinta: Sebuah Cara Meraih Keinginan

                                                                                        

          Book Fair 2025 sepi pengunjung ketika saya tiba di halaman Perpustakaan Provinsi  Jawa Tengah. Beberapa petugas, lelaki-perempuan, sibuk menata buku-buku, menghitung dengan kalkutalor dari buku catatan, memindahkan buku-buku ke tempat semestinya, dll. Aroma masakan tercium dari pedagang di sisi kiri arena. Sesekali angin dingin melintas walau matahari sejak pagi tadi bertengger di atas sana.

Saya sengaja datang awal, agar leluasa mencari buku yang saya inginkan. Langsung saya datangi buku-buku novel. Dari barisan buku-buku itu, tidak satu pun saya temui yang saya mau. Kesabaran saya hilang dan nyaris pulang, sebelum saya melihat buku berwarna suram, pada barisan terakhir. Hati saya langsung berujar, sebelum buku itu saya ambil, lalu pulang, untuk segera membacanya: “Akhirnya, kutemukan pengarang idola: Gabriel Garcia Marquez.”

Dari kovernya (gambar dan judul), saya menebak isinya banyak berisi adegan cabul. Namun, mengacu nama besar pengarangnya, sebagaimana ditulis lebih besar dari judul buku, cerita ranjang tidak akan ditulis laiknya ‘barang ecek-ecek’.

Cerita dibuka dengan keinginan lelaki, mantan jurnalis, yang masih dipercaya mengisi kolom seminggu sekali, menghadiahi dirinya, tepat pada hari ulang tahunnya ke-90, dengan menghabiskan malam percintaan liar bersama remaja perawan. Ia menelepon kenalannya, wanita pemilik rumah bordil. Lalu kenalannya itu memberinya gadis miskin dari piggiran, usia 14 tahun.

Dari bab kedua (lelaki itu mulai bertemu sang gadis) hingga bab akhir, dugaan saya meleset. Tak satu pun terjadi adegan ranjang, walaupun keduanya berada dalam satu kamar. Kenalannya itu memberi obat penenang karena gadis itu baru saja mengalami kejadian buruk, yang ini bisa mengganggu hubungannya dengan lelaki itu. Nahas, obat itu kelebihan dosis. Ia tidur terlelap hingga keesokan hari, saatnya sang mantan jurnalis menyiapkan karyanya. Begitulah malam-malam sama, namun demikian cukup membuat lelaki itu menemukan cintanya. Ia menulis dengan penuh cinta. Karyanya terasa berbeda dari biasanya. Hingga pengunduran dirinya berhenti menulis kolom ditolak, sebab ia masih bisa menyajikan karya bagus.

Kalimat-kalimatnya ditulis panjang-panjang. Namun saya tidak terengah-engah, karena setiap frasa ringkas sehingga mudah dipahami. Dari novel sebanyak seratus empat puluh tujuh halaman, hanya beberapa kalimat dialog ditulis secara konvensional: diapit dengan tanda petik. Selebihnya kalimat-kalimat dialog ditulis secara narasi. Saya tidak bingung, sebaliknya, justru terkesan, itulah keunikan karya ini.

Terlepas cerita seorang lelaki 90 tahun ingin menghabiskan malam percintaan liar bersama remaja perawan, pada hari ulang tahunnya, lebih jauh cerita ini berkesan bahwa dengan cinta, keinginan apapun bisa diraih, entah cita-cita, harapan, pekerjaan, dll. Cinta memberi kekuatan magis yang mampu menggerakkan sesuatu sulit tanpa diduga.

Sebagai rangkuman, sekaligus motivasi, jelang halaman terakhir, ditulis: Kehidupan bukanlah sesuatu yang berlalu begitu saja bagaikan sungai Heraclius yang selalu berubah, melainkan adalah sebuah kesempatan unik untuk membalikkan panggangan dan menjaga panas di sisi lain, selama manusia hidup.  

@@@