Iis Soekandar

Kamis, 27 Maret 2025

Tak Memburu Waktu

                                                                                  

Posko penuh orang-orang. Posko keamanan di sebelah kiri dekat pintu gerbang masjid itu terbangun dari tenda terbuka. Saya mudah melihat kegiatannya dari jauh. Satu per satu orang keluar sambil membawa minyak goreng kemasan plastik dengan wajah berseri. Kemudian datang yang lain dan mengantre, begitu seterusnya. Sebagian dari mereka jemaah pengajian; Sebagian lagi orang-orang luar.

            “Tadi sebelum pengajian, ada pengumuman, tapi aku nggak ngeh,” jawab teman yang duduk di sebelah saya ketika saya tanya kegiatan di posko.

            “Jenengan tidak ke sana?” tanya saya sekaligus mencari teman.

            “Nanti saja setelah Asar,” jawabnya kukuh, sambil manggut-manggut mendengarkan keterangan Pak Ustaz.

            Hati saya bergejolak. Apakah barangnya masih ada jika kami menunggu Asar? Pasti harga minyak goreng itu murah. Mungkin otoritas setempat atau pihak tertentu memberi kompensasi kepada masyarakat, yang dirugikan salah satu produsen minyak goreng, yang mengurangi takaran.   

            Seorang wanita bertubuh tinggi dan tegar datang, lalu bersalaman kepada orang-orang di dekatnya. Ia tiba di masjid pada separuh waktu pengajian. Orang-orang membagikan takjil jelang buka puasa. Ia membagikan takjil siang hari, terlepas yang diberi jemaah pengajian. Saya pernah diberinya kurma 5 buah dalam bungkus mika.

            Saya datangi posko, di tengah terik matahari, pada keterangan Pak Ustaz berikutnya. Cerita Nabi Yusuf dibuang saudaranya, dan kisah-kisah menarik setelah itu, terdengar jelas melalui pelantang suara.

            Seperti mendapat hadiah lebaran ketika saya mendapatkan satu liter minyak goreng secara gratis. Saya hanya diminta mengisi kuesioner, seputar penggunaan uang digital. Teman saya sedih, selesai Asar, posko sepi, tidak ada lagi kegiatan pemberian minyak goreng gratis.

            Insya Allah, dua atau tiga hari lagi Lebaran tiba. Izinkah saya mengucapkan Hari Raya Idulfitri, kepada teman-teman yang merayakannya, dan, maaf lahir batin.

@@@


Kamis, 20 Maret 2025

Apa Ini?

                                                                                                

            Pak Ustaz menerjemahkan dan memberi keterangan-keterangan ayat-ayat suci yang dilantunkan. Keterangan-keterangan itu, selalu dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Ia akan kembali membacakan ayat-atat suci lalu menerjemahkan dan memberi keterangan-keterangan, demikian seterusnya hingga waktu jelang Asar. Dan menurut jadwal pengurus, pengajian dan khataman akan dilakukan tanggal 25 Ramadan.

            Langit mendung. Angin bertiup sejuk. Suara kendaraan-kendaraan terdengar ramai, dari para pembeli yang memenuhi kebutuhan Lebaran. Mereka berbelanja di pertokoan seberang jalan sisi kanan masjid.

Sebagian jemaah mendengarkan. Sebagian lain mencatat. Sebagian lagi mengantuk. Pandangan saya menyapu jemaah yang duduk di tengah, dan di pojok-pojok serambi masjid. Saya tak menemui pedagang keripik. Saya suka keripik tumpi(keripik kacang hijau). Mungkinkah pedagangnya tidak berjualan? Atau ia duduk di masjid bagian dalam? Saya duduk di undakan. Gerak saya leluasa.

Pedagang keripik menjual dagangannya sambil lalu. Ia duduk santai di tempat-tempat strategis. Ia menawarkan dagangannya di dalam tas anyaman, kepada orang-orang yang lalu lalang di depannya.   

Berbeda dengan pedagang-pedagang makanan lain, mereka menemui para calon pembelinya satu per satu. Ada pedagang tetap menawari walaupun saya tidak pernah membeli karena tak suka dagangannya.

Ada juga pedagang datang di tengah pengajian berlangsung. Ia duduk sebentar, sambil mencari-cari orang-orang yang pernah membeli dagangannya. Setelah menemukannya, ia tak segan nimbrung dan duduk di sebelah orang tersebut.

Saya harus menunda makan keripik jika tak menemukan pedagangnya. Karena kesibukan malam, saya tak punya waktu menikmati keripik. Saya tadarus bersama teman-teman setelah tarawih. Dan tadarus 30 juz selesai pertengahan Ramadan. Saya berjanji akan membeli keripik setelah tadarus selesai.

            Kami menutup Al-Qur’an. Pak Ustaz baru saja mengakhiri pengajian dengan doa. Tak lama kemudian…

            Pluk!

            “Apa ini?” tanya saya kaget.

            Saya belum sempat mengucapkan terima kasih kepada teman yang menjatuhkan tas kresek di pangkuan saya. Ia gegas pergi, tak mau tersalip mendung menjatuhkan airnya. Dan, sebahagia mendapatkan baju Lebaran, saat saya mengetahui isinya: sebungkus keripik tumpi.

            Suara azan terdengar; saya segera memenuhi panggilannya.

@@@


Kamis, 13 Maret 2025

Langit Terang di Ujung Sana

                                                                                         

Setelah setengah hari beraktivitas, sambil menahan lapar dan dahaga, tidur siang adalah langkah tepat. Tapi pengajian dimulai sekitar pukul satu siang. Pergi tidur dan pergi mengaji, berkelindan di benak saya.

Jika pertentangan dua hal itu merasuki pikiran, saya segera melintaskan dua pedagang yang biasa hadir dalam pengajian itu. Dan saya pun bergegas pergi mengaji.

Berbeda dari pedagang-pedagang lain yang menjual makanan, pedagang balon rajin menyambangi tempat pengajian. Ia menawarkan dagangannya kepada jemaah yang mengajak anak-anak kecil. Ia terkadang datang dua kali dalam durasi pengajian hampir dua jam. Padahal, jemaah yang hadir dan anak-anak kecil yang diajak tak berbeda. Sewajarnya, orang membeli mainan yang sama satu kali. Tapi ia lalu lalang, ke jemaah wanita, lalu ke jemaah lelaki.

                                                                                         

Satu lagi wanita lansia pedagang asongan yang menjual bermacam-macam jepit rambut, karet rambut, cotton bud, serabut pencuci piring, tutup termos, dll. Ketika jalan tanpa beban, saya yakin kakinya terseok-seok. Apalagi ia harus menarik gerobak minimalisnya. Gerobak beroda dua itu disangganya dengan kotak bekas wadah es krim agar berdiri ketika ia duduk bergabung dengan jemaah. Ia beristirahat sambil mendengarkan bacaan Al-Qur’an diselingi ceramah dari Pak Ustaz. Sesekali kantuk menyetainya.

Tak seperti para pedagang makanan yang laris manis, saya pernah duduk di sampingnya hingga pengajian selesai, tak satu pun pembeli membeli dagangannya.

“Setiap hari pasti ada yang beli, ya, Bu?” tanya saya berempati, bagaimana dia makan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain.

“Yah, disyukuri saja,” jawabnya senyum-senyum, tak mau menjelaskan detail. Kami berbincang selesai salat Asar. Sesekali kami menyalami jemaah, yang menuruni undakan masjid, untuk pulang. 

Lalu dia bercerita tentang anak-anaknya yang tak pernah menyantuni. Ia tinggal di sebuah rumah yang tidak lagi ditempati pemiliknya. Sebetulnya ia juga menjual beberapa mainan anak-anak. Tapi modalnya tak kembali karena uangnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Saya manggut-manggut dan mendoakan dalam hati agar ia diberi rezeki sehingga dagangannya tetap ada. Ketika saya bertanya apakah ia juga berbuka puasa di masjid ini, saya tersadar mendengar jawarabannya. Ia berbuka di masjid lingkungan tempat tinggalnya. Ia tidak berani pulang malam. Ia butuh waktu lama berjalan dari masjid ke rumahnya, sambil menarik gerobak minimalisnya.

Satu orang bersandar di pilar serambi masjid dengan mata terpejam. Dua lainnya tergeletak di lantai. Aroma sedap makanan dari penjaja makanan di alun-alun melintas. Daun-daun kemboja bergerak-gerak saat angin bertiup. Kami berpisah. Pedagang asongan menarik gerobaknya; jalannya satu langkah satu langkah. Di antara perjalanan pulang, saya melihat langit terang di ujung sana.

@@@


Kamis, 06 Maret 2025

Impas

            Puasa Ramadan identik cuaca panas. Dahaga adalah salah ujian yang harus dilalui setiap Muslim, begitu terasa. Namun, Ramadan tahun ini bertepatan bulan Maret, yang menurut penanggalan, hujan rajin menyambangi.

            Pengajian selesai. Kami menuntaskan dengan salat Asar di masjid. Saya bersama jemaah berburu takjil. Saya mencari ketan biru, makanan khas Semarang, terbuat dari beras ketan berwarna biru, di atasnya diberi enten-enten. Saya berkeliling alun-alun dan sekitarnya, membaca satu per satu tulisan makanan di depan kedai-kedai. Pedagang ketan biru biasanya juga menjual lontong opor.

            “Wah, di mana ya. Saya nggak lihat tuh, penjual ketan biru,” jawab penjual aneka jus buah yang saya tanya. Saya tinggalkan wanita itu bersama suara berisik alat jus yang sedang melumat jambu biji merah.

            Tak lama air dari langit turun rinai. Saya gegas pulang. Tidak bijaksana jika saya terus memburunya di tempat-tempat lain.  Saya harus menjaga kesehatan. Demi mengurangi rasa kecewa, saya lewati sore-sore bersama buku bacaan.

            Saya pikir buku ini hanya membahas kuliner Semarang. Istilah Semarangan mengacu kuliner Semarang dan daerah-daerah pantai utara Jawa Tengah: Batang, Demak, Kudus, Jepara, Pati, Lasem, Grobogan, dan Purwodadi. 

            Kuliner akulturasi masyarakat Tionghoa, Islam, Hindu, merupakan bagian dari makanan keseharian masyarakat Semarangan. Bangsa-bangsa asing itu datang di Indonesia untuk berdagang.

            Di Semarang, lumpia, bakso, lontong cap go meh, bolang baling adalah contoh akulturasi masyarakat Tionghoa, juga swike khas Purwodadi. Begitu pun bacang: makanan berbahan beras ketan yang diberi isian daging, dan dibungkus daun bambu, sangat mudah ditemui di Lasem pada hari-hari biasa. Sedangkan kuliner Jepara mendapat pengaruh dari Tionghoa, Arab, dan Belanda. Jepara dikenal sebagai kota pelabuhan yang sering disinggahi kapal-kapal asing.

            Kuliner Demak dan Kudus dipengaruhi agama Hindu. Masyarakatnya tidak makan daging sapi, melainkan daging kerbau.

            Selain pengaruh negara-negara asing, kuliner Semarangan juga dipengaruhi kondisi alam. Potensi Semarangan adalah padi, ubi, jagung, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau.

            Getuk runting adalah kudapan khas Pati, terbuat dari ubi kayu, di atasnya ditaburi serudeng. Sedangkan olahan jagung, seperti nasi jagung dan jagung goreng, banyak dijumpai di Grobongan.

            Beberapa daerah Semarangan mempunyai gunung dan pengunungan sehingga potensi produksi buah dan sayur mencukupi.

            Buku ini juga dilengkapi resep kuliner Semarangan dan gambar-gambar makanan dan minuman yang menarik.

            Mendapatkan pengetahuan kuliner Semarangan, impas bagi saya, sebagai kompensasi tak menemui ketan biru.

@@@

 

Kamis, 27 Februari 2025

Tertambat Niat

       Ada keraguan ketika saya akan membeli makanan-makanan kesukaan pada tradisi dugderan. Pedagang-pedagangnya berasal dari luar kota. Harga barang-barang naik, kelangkaaan gas melon, apakah mereka berjualan pada momen tahunan itu? 

                                                     

       Dugderan adalah tradisi masyarakat Semarang menyambut puasa Ramadan. Dugderan diadakan selama dua minggu sebelumnya. Para pedagang makanan daerah dan makanan kekinian, para pedagang mainan seperti aneka celengan dari gerabah, menjajakan dagangannya sekitar alun-alun, depan Masjid Agung Semarang. Ada juga wahana permainan kora-kora, tong setan, ombak banyu, dll. 

                                                      

               Senja berganti malam. Di depan masjid, tidak ada satu pun penjual makanan. Tempat itu beralih fungsi mejadi tempat parkir kendaraan. Biasanya pedagang tahu aci menjual dagagannya di sana.

            Saya masuk arena dugderan, menyusuri jalanan depan alun-alun, menembus jubelan pengunjung. Aroma sedap bakaran seafood melintas hidung. Suara keriangan pengunjung, otok-otok dari mainan kapal-kapalan, dan musik dari lapak-lapak makanan, beradu. 

                                                   

           Sebungah musik dari lagu energik ketika saya melihat angkringan bertuliskan makanan kesukaan. Di belakangnya, seorang lelaki sibuk memasukkan aneka bahan-bahan makanan dalam wajan kecil. Ia duduk di dingklik. Saya membeli seporsi. Tidak ada pembeli lain; berporsi-porsi kerak telur dalam bungkus-bungkus kertas coklat, menggunung. Tak lama makanan matang.

            “Berapa, Pak?”

            “Dua puluh lima ribu saja.”

            Lalu ia memberi kembalian Rp25.000,00 sambil mengeluarkan unek-unek, bahwa, harga bahan-bahan makanan naik, banyak pesaing, untung sedikit yang penting laku, demi dugderan. 

            Saya melanjutkan langkah, menembus barisan pengunjung yang semakin lama semakin padat. Di ujung, tak ada penjual makanan, kecuali aneka wahana permainan. Mungin saya terlewat. Saya pulang, akan melanjutkan petualangan, esok hari.

@@@

            Waktu berpacu dengan hujan. Dua hari berikutnya saya berkesempatan mengunjungi dugderan. Sore muram; guntur menggema. Saya teringat, tempo hari belum masuk ke alun-alun. Jalanan lengang. Saya menoleh ke kanan ke kiri melihat para pedagang menyiapkan dagangan-dagangannya. Saya berdiri mematung di depan  sebuah kedai makanan. Mata saya kedip-kedipkan. Saya tidak salah. 

                                                         

               “Kirain nggak ada pedagang tahu aci,” ungkap saya setengah berteriak sambil senyum-senyum begitu mendekat ke panjualnya.

            “Ada kok,” jawab pedagangnya, seorang laki-laki, juga senang. Ia dan istrinya bergegas menyiapkan dagangannya untuk dijajakan. Istrinya membagi dua setiap tahu di meja racik, lalu memberinya aci di bagian tengahnya: adonan berbahan tepung kanji yang diberi bumbu. Tahu-tahu itu dikirm dari Tegal oleh bosnya. Begitu pun acinya diberi bumbu khas oleh bosnya.

            Seporsi tahu aci seharga Rp20.000,00 telah dibungkus. Saya bersiap menyantapnya di rumah.

@@@






 

Kamis, 20 Februari 2025

Masjid Klenteng

     Februari menyisakan merah, ketika saya melintas di Jalan Gang Warung, kawasan pecinan Semarang. Warna itu menyatu dalam lampion-lampion yang terpajang di pertokoan, untuk menyambut imlek, beberapa waktu lalu. Warna merah lain membingungkan saya, saat saya bertemu teman di pasar. Kami berdiri di depan lapak pedagang yang sama. Saya membeli nasi jagung; ia membeli gendar pecel. Ia bercerita bahwa Bu Nyai atau pimpinan guru mengaji kami, akan mengadakan acara.

            “Kita akan berkunjung ke Masjid Klenteng.”

            “Masjid Klenteng? Bukankah itu dua tempat ibadah berbeda? Apa mungkin satu tempat untuk sembayang dua umat?”

            Ia mengedikkan bahu. Kami penasaran. Lalu kami berpisah untuk belanja lain.

            Kelenteng identik warna merah. Apakah kelenteng itu telah berubah menjadi masjid, atau sebaliknya, dan tetap berwarna merah?

                                                                              

       Kebingungan saya terjawab pada hari Minggu. Angkutan membawa rombongan di sebuah bangunan, didominasi warna merah. Letaknya di pinggir jalan, memudahkan  pengunjung luar kota menemukan alamatnya. Langit cerah menaungi kami sepanjang perjalanan satu setengah jam, Semarang-Salatiga. Begitu masuk halaman, pohon rambutan dan pohon langsat, yang sedang berbuah, menyambut. Angin bertiup sejuk, menemani istirahat kami.

            Setelah beribadah, di dalam masjid, tak lupa kami mendoakan Pak Yusuf Hidatullah. Ia adalah mualaf Tionghoa dan pendiri masjid, dan menamainya Masjid Klenteng. Sejak tahun 2020, masjid itu berpindah pemilik, lalu dibangun pondok pesantren.

            Masjid itu tidak luas. Bagian depan ada mihrab atau tempat imam memimpin salat berjamaah; bagian belakang tempat menyimpan kitab-kitab suci. Di sebelah masjid ada ruang terbuka, untuk menampung, jika jamaah melebihi kapasitas.

                                                                                  

           Sebelah kanan masjid, pondok pesantren dua lantai, untuk para santri putra. Para santri putri berada di belakang masjid. Bangunan pondok pesantren sedang diperbaiki ketika kami berkunjung. Material-material bangunan terlihat di depan pintu gerbang pondok.

            “Total jumlah santri sekitar seratusan. Mayoritas sih anak-anak kuliah. Hanya satu dua yang masih SMA,” jawab santri putri ketika saya bertanya jumlah semua santri.

            Saya manggut-manggut. Lalu ia segera pergi untuk membeli keperluan pribadi.

            Setelah puas mengunjungi Masjid Klenteng, termasuk mengetahui asal usul namanya, kami melanjutkan perjalanan.

@@@



 

Kamis, 13 Februari 2025

Nasi Megono

Waktu menunjuk pukul 5.30. Langit mendung; para pedagang berpayung; saya bingung. Saya baru tersadar, penjual nasi megono tidak mangkal. Ke mana saya harus mencarinya?

Saya putuskan menunggu di samping penjual nasi jagung langganan. Dua hari sebelumnya saya bertemu teman. Kami sama-sama keluar masjid selesai salat Subuh. Tiba-tiba ia membicarakan penjual nasi megono.

            “Di undakan ini, aku pernah bertemu penjual nasi megono. Aku langsung beli. Sayang, tidak tiap hari dia lewat sini,” keluhnya. Ia bercerita bahwa beberapa teman yang waktu itu membersamainya, juga membeli nasi megono. Mungkin penggemar nasi megono banyak. Kami menyayangkan penjualnya tidak mangkal di pasar, agar pembelinya tidak kesulitan mencarinya.

            Dari perbicangan itu, saya ingin makan sarapan nasi megono.

            “Mungkin penjualnya libur. Memang dia tidak tiap hari lewat. Siapa tahu dia sekarang jualan di pasar lain,” jelas pedagang nasi jagung, setelah saya menunggu setengah jam. Akhirnya saya pulang, setelah membeli nasi jagung, dengan pelengkap: gudangan dan rempeyek ikan asin.

            Pagi berikutnya, saya menunggu lagi. Saya kecewa, karena kembali pulang menenteng sebungkus nasi jagung. Hal itu berlangsung hingga empat hari.

            Tinggal dekat pasar, dan di tengah masyarakat urban, saya banyak menikmati alternatif menu sarapan, di antaranya nasi megono. Berawal ketika saya membeli wortel, seorang lelaki menyodorkan sebuah bungkusan. Ia mengatakan bahwa ia menjual nasi megono seharga Rp5.000,00. Saya penasaran. Saya membelinya. Kalaupun saat itu saya sudah membeli sarapan, saya berikan orang lain. Saya beruntung dapat menikmati makanan khas daerah.

            Nasi megono adalah makanan khas Pekalongan. Ciri khas nasi megono, selain nasi putih, bersayur nangka muda yang dicacah, berbumbu dan berempah tertentu; rasanya gurih. Lauknya ikan asin. Nasinya pulen dan hangat, cocok disantap saat hawa dingin.

            Pekan berikutnya, saya kembali bergerilya. Penjual nasi jagung langganan sedang libur. Saya menunggu di depan supermarket. Seperti mendapati panas matahari di musim hujan, saya buru-buru menghampiri seorang lelaki. Kedua tangannya membawa wadah plastik, berisi bungkusan-bungkusan dagangannya.

            “Tidak jualan tiap hari ya, Pak? Kemarin tak tunggu gak lewat.”

            “Kemarin kan hari Minggu, aku mengaji…” jelasnya. Lalu ia mengatakan bahwa tidak setiap hari lewat di satu pasar. Di samping itu, beberapa hari ia tidak enak badan, dan libur berjualan. Apapun alasannya, saya segera membayar, dan tidak sabar menikmati nasi megono.

@@@