Buku
ini saya ambil dari rak, tanpa tujuan tertentu, lalu segera pergi, demi udara
dingin, padahal sepanjang perjalanan menuju perpustakaan, kaus tebal tak
berimbas menghangatkan tubuh. Suhu ruang perpusatakaan punya standar tertentu
agar kertas-kertas bukunya tidak sobek atau berjamur.
Sekilas judulnya bersinggungan
dengan kondisi tempat tinggal saya. Alih-alih saya bisa menanam pohon rambutan,
sejengkal tanah tidak ada di halaman rumah.
Dua
minggu lalu saya menyambangi teman. Rumahnya di pinggir kota, daerah Gunung
Pati. Ia menanam satu pohon rambutan dan tanaman-tanaman hias di halaman rumahnya.
Saya bertanya mengapa tidak ditebaskan pohon itu. Dan uang dari penjualannya
untuk membeli kebutuhan rumah tangganya.
“Hanya inilah yang bisa aku bagikan
ke teman-temanku,” jawabnya sambil memisahkan buah-buah rambutan dari
tangkainya, lalu memasukkannya ke kantung kresek, yang disiapkan untuk saya
bawa pulang. Kami duduk di lantai teras; saya membantunya. Saya tidak berhenti
makan rambutan. Dagingnya tebal, ngelotok, dan manis. Sebelumnya saya dan
teman-teman lain sering kecewa membeli rambutan di pasar. Terkadang
rambutan-rambutan itu masam, atau tidak ngelotok. Sejak itu, setiap panen, ia
senang membagikan buah-buah rambutannya kepada teman-temannya.
Waktu menunjuk pukul empat sore
ketika saya mulai membaca buku Urban Farming, sambil ditemani ‘bakpao
ijo’ yang sedang viral. Orang menanam tanaman tidak harus di tanah berhektar-hektar, sebagaimana Pak Tani dan Bu
Tani. Daerah perkotaan dengan rumah-rumah berimpitan satu sama lain, orang bisa
bercocok tanam, yaitu dengan istilah urban farming atau menanam di lahan
terbatas.
Selain
tanaman hias, sayuran dan buah-buahan juga bisa ditanam di lahan terbatas:
bayam, kangkung, sawi, selada, tomat, cabai, stroberi, kacang-kacangan,
paprika, melon, anggur.
Orang
mengonsumsi sayuran dan buah dari tanaman sendiri, dapat mengurangi efek
degradasi zat gizi. Menurut sebuah studi, sekitar 30-50% zat pada buah dan sayur
akan hilang setelah 5-10 hari ditransportasikan dari kebun sampai ke konsumen.
Ada
tiga teknik penanaman di lahan terbatas. Pertama, penanaman menggunakan media
konvensional: tanah. Tempat tanamnya pot, bambu, atau wadah tidak terpakai. Kedua,
penanaman menggunakan media air bernutrisi, yang disebut hidroponik. Ketiga, penggabungan
menanam tanaman dan memelihara ikan, yang disebut akuaponik. Teknik ini merupakan
simbiosis mutualisma: tanaman memanfaatkan unsur hara dari kotoran ikan; ikan
mendapatkan suplai oksigen dari tanaman. Tanaman yang umum dibudidayakan:
cabai, tomat, sawi, bayam, dan kangkung; ikan yang umum dipelihara: nila, lele,
mas, patin, gurami, tawes.
Setiap
teknik diberi gambar dan keterangan secara jelas. Pembaca mudah mempraktikkannya.
Selesai
membaca buku, keesokan hari saya berkunjung ke rumah teman. Saat itu wilayah RT-nya,
diwakili beberapa warga, mempraktikkan akuaponik. Saya tanyakan apakah lele-lele
di dalam ember tumbuh hingga besar, dan kangkung-kangkung yang ditanaman di
lubang-lubang tutup ember itu bisa dikunsumsi.
“Berhasil,
kok. Sekarang usaha itu diteruskan warga. Setiap panen ikan lele dan kangkung,
dia woro-woro.”
Ia
bercerita penuh semangat. Terlintas dalam benak saya sebotol air mineral di
dalam kulkas. Kelak botolnya akan saya gunakan menanam, mungkin cabai.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar