Februari
menyisakan merah, ketika saya melintas di Jalan Gang Warung, kawasan pecinan
Semarang. Warna itu menyatu dalam lampion-lampion yang terpajang di pertokoan, untuk
menyambut imlek, beberapa waktu lalu. Warna merah lain membingungkan saya, saat
saya bertemu teman di pasar. Kami berdiri di depan lapak pedagang yang sama.
Saya membeli nasi jagung; ia membeli gendar pecel. Ia bercerita bahwa Bu Nyai
atau pimpinan guru mengaji kami, akan mengadakan acara.
“Kita akan berkunjung ke Masjid
Klenteng.”
“Masjid Klenteng? Bukankah itu dua
tempat ibadah berbeda? Apa mungkin satu tempat untuk sembayang dua umat?”
Ia mengedikkan bahu. Kami penasaran.
Lalu kami berpisah untuk belanja lain.
Kelenteng identik warna merah.
Apakah kelenteng itu telah berubah menjadi masjid, atau sebaliknya, dan tetap
berwarna merah?
Kebingungan
saya terjawab pada hari Minggu. Angkutan membawa rombongan di sebuah bangunan,
didominasi warna merah. Letaknya di pinggir jalan, memudahkan pengunjung luar kota menemukan alamatnya. Langit
cerah menaungi kami sepanjang perjalanan satu setengah jam, Semarang-Salatiga. Begitu
masuk halaman, pohon rambutan dan pohon langsat, yang sedang berbuah, menyambut.
Angin bertiup sejuk, menemani istirahat kami.
Setelah beribadah, di dalam masjid,
tak lupa kami mendoakan Pak Yusuf Hidatullah. Ia adalah mualaf Tionghoa dan
pendiri masjid, dan menamainya Masjid Klenteng. Sejak tahun 2020, masjid itu
berpindah pemilik, lalu dibangun pondok pesantren.
Masjid itu tidak luas. Bagian depan
ada mihrab atau tempat imam memimpin salat berjamaah; bagian belakang tempat
menyimpan kitab-kitab suci. Di sebelah masjid ada ruang terbuka, untuk
menampung, jika jamaah melebihi kapasitas.
Sebelah
kanan masjid, pondok pesantren dua lantai, untuk para santri putra. Para santri
putri berada di belakang masjid. Bangunan pondok pesantren sedang diperbaiki ketika
kami berkunjung. Material-material bangunan terlihat di depan pintu gerbang
pondok.
“Total jumlah santri sekitar
seratusan. Mayoritas sih anak-anak kuliah. Hanya satu dua yang masih SMA,” jawab
santri putri ketika saya bertanya jumlah semua santri.
Saya manggut-manggut. Lalu ia segera
pergi untuk membeli keperluan pribadi.
Setelah puas mengunjungi Masjid Klenteng,
termasuk mengetahui asal usul namanya, kami melanjutkan perjalanan.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar