Iis Soekandar: Februari 2025

Kamis, 27 Februari 2025

Tertambat Niat

       Ada keraguan ketika saya akan membeli makanan-makanan kesukaan pada tradisi dugderan. Pedagang-pedagangnya berasal dari luar kota. Harga barang-barang naik, kelangkaaan gas melon, apakah mereka berjualan pada momen tahunan itu? 

                                                     

       Dugderan adalah tradisi masyarakat Semarang menyambut puasa Ramadan. Dugderan diadakan selama dua minggu sebelumnya. Para pedagang makanan daerah dan makanan kekinian, para pedagang mainan seperti aneka celengan dari gerabah, menjajakan dagangannya sekitar alun-alun, depan Masjid Agung Semarang. Ada juga wahana permainan kora-kora, tong setan, ombak banyu, dll. 

                                                      

               Senja berganti malam. Di depan masjid, tidak ada satu pun penjual makanan. Tempat itu beralih fungsi mejadi tempat parkir kendaraan. Biasanya pedagang tahu aci menjual dagagannya di sana.

            Saya masuk arena dugderan, menyusuri jalanan depan alun-alun, menembus jubelan pengunjung. Aroma sedap bakaran seafood melintas hidung. Suara keriangan pengunjung, otok-otok dari mainan kapal-kapalan, dan musik dari lapak-lapak makanan, beradu. 

                                                   

           Sebungah musik dari lagu energik ketika saya melihat angkringan bertuliskan makanan kesukaan. Di belakangnya, seorang lelaki sibuk memasukkan aneka bahan-bahan makanan dalam wajan kecil. Ia duduk di dingklik. Saya membeli seporsi. Tidak ada pembeli lain; berporsi-porsi kerak telur dalam bungkus-bungkus kertas coklat, menggunung. Tak lama makanan matang.

            “Berapa, Pak?”

            “Dua puluh lima ribu saja.”

            Lalu ia memberi kembalian Rp25.000,00 sambil mengeluarkan unek-unek, bahwa, harga bahan-bahan makanan naik, banyak pesaing, untung sedikit yang penting laku, demi dugderan. 

            Saya melanjutkan langkah, menembus barisan pengunjung yang semakin lama semakin padat. Di ujung, tak ada penjual makanan, kecuali aneka wahana permainan. Mungin saya terlewat. Saya pulang, akan melanjutkan petualangan, esok hari.

@@@

            Waktu berpacu dengan hujan. Dua hari berikutnya saya berkesempatan mengunjungi dugderan. Sore muram; guntur menggema. Saya teringat, tempo hari belum masuk ke alun-alun. Jalanan lengang. Saya menoleh ke kanan ke kiri melihat para pedagang menyiapkan dagangan-dagangannya. Saya berdiri mematung di depan  sebuah kedai makanan. Mata saya kedip-kedipkan. Saya tidak salah. 

                                                         

               “Kirain nggak ada pedagang tahu aci,” ungkap saya setengah berteriak sambil senyum-senyum begitu mendekat ke panjualnya.

            “Ada kok,” jawab pedagangnya, seorang laki-laki, juga senang. Ia dan istrinya bergegas menyiapkan dagangannya untuk dijajakan. Istrinya membagi dua setiap tahu di meja racik, lalu memberinya aci di bagian tengahnya: adonan berbahan tepung kanji yang diberi bumbu. Tahu-tahu itu dikirm dari Tegal oleh bosnya. Begitu pun acinya diberi bumbu khas oleh bosnya.

            Seporsi tahu aci seharga Rp20.000,00 telah dibungkus. Saya bersiap menyantapnya di rumah.

@@@






 

Kamis, 20 Februari 2025

Masjid Klenteng

     Februari menyisakan merah, ketika saya melintas di Jalan Gang Warung, kawasan pecinan Semarang. Warna itu menyatu dalam lampion-lampion yang terpajang di pertokoan, untuk menyambut imlek, beberapa waktu lalu. Warna merah lain membingungkan saya, saat saya bertemu teman di pasar. Kami berdiri di depan lapak pedagang yang sama. Saya membeli nasi jagung; ia membeli gendar pecel. Ia bercerita bahwa Bu Nyai atau pimpinan guru mengaji kami, akan mengadakan acara.

            “Kita akan berkunjung ke Masjid Klenteng.”

            “Masjid Klenteng? Bukankah itu dua tempat ibadah berbeda? Apa mungkin satu tempat untuk sembayang dua umat?”

            Ia mengedikkan bahu. Kami penasaran. Lalu kami berpisah untuk belanja lain.

            Kelenteng identik warna merah. Apakah kelenteng itu telah berubah menjadi masjid, atau sebaliknya, dan tetap berwarna merah?

                                                                              

       Kebingungan saya terjawab pada hari Minggu. Angkutan membawa rombongan di sebuah bangunan, didominasi warna merah. Letaknya di pinggir jalan, memudahkan  pengunjung luar kota menemukan alamatnya. Langit cerah menaungi kami sepanjang perjalanan satu setengah jam, Semarang-Salatiga. Begitu masuk halaman, pohon rambutan dan pohon langsat, yang sedang berbuah, menyambut. Angin bertiup sejuk, menemani istirahat kami.

            Setelah beribadah, di dalam masjid, tak lupa kami mendoakan Pak Yusuf Hidatullah. Ia adalah mualaf Tionghoa dan pendiri masjid, dan menamainya Masjid Klenteng. Sejak tahun 2020, masjid itu berpindah pemilik, lalu dibangun pondok pesantren.

            Masjid itu tidak luas. Bagian depan ada mihrab atau tempat imam memimpin salat berjamaah; bagian belakang tempat menyimpan kitab-kitab suci. Di sebelah masjid ada ruang terbuka, untuk menampung, jika jamaah melebihi kapasitas.

                                                                                  

           Sebelah kanan masjid, pondok pesantren dua lantai, untuk para santri putra. Para santri putri berada di belakang masjid. Bangunan pondok pesantren sedang diperbaiki ketika kami berkunjung. Material-material bangunan terlihat di depan pintu gerbang pondok.

            “Total jumlah santri sekitar seratusan. Mayoritas sih anak-anak kuliah. Hanya satu dua yang masih SMA,” jawab santri putri ketika saya bertanya jumlah semua santri.

            Saya manggut-manggut. Lalu ia segera pergi untuk membeli keperluan pribadi.

            Setelah puas mengunjungi Masjid Klenteng, termasuk mengetahui asal usul namanya, kami melanjutkan perjalanan.

@@@



 

Kamis, 13 Februari 2025

Nasi Megono

Waktu menunjuk pukul 5.30. Langit mendung; para pedagang berpayung; saya bingung. Saya baru tersadar, penjual nasi megono tidak mangkal. Ke mana saya harus mencarinya?

Saya putuskan menunggu di samping penjual nasi jagung langganan. Dua hari sebelumnya saya bertemu teman. Kami sama-sama keluar masjid selesai salat Subuh. Tiba-tiba ia membicarakan penjual nasi megono.

            “Di undakan ini, aku pernah bertemu penjual nasi megono. Aku langsung beli. Sayang, tidak tiap hari dia lewat sini,” keluhnya. Ia bercerita bahwa beberapa teman yang waktu itu membersamainya, juga membeli nasi megono. Mungkin penggemar nasi megono banyak. Kami menyayangkan penjualnya tidak mangkal di pasar, agar pembelinya tidak kesulitan mencarinya.

            Dari perbicangan itu, saya ingin makan sarapan nasi megono.

            “Mungkin penjualnya libur. Memang dia tidak tiap hari lewat. Siapa tahu dia sekarang jualan di pasar lain,” jelas pedagang nasi jagung, setelah saya menunggu setengah jam. Akhirnya saya pulang, setelah membeli nasi jagung, dengan pelengkap: gudangan dan rempeyek ikan asin.

            Pagi berikutnya, saya menunggu lagi. Saya kecewa, karena kembali pulang menenteng sebungkus nasi jagung. Hal itu berlangsung hingga empat hari.

            Tinggal dekat pasar, dan di tengah masyarakat urban, saya banyak menikmati alternatif menu sarapan, di antaranya nasi megono. Berawal ketika saya membeli wortel, seorang lelaki menyodorkan sebuah bungkusan. Ia mengatakan bahwa ia menjual nasi megono seharga Rp5.000,00. Saya penasaran. Saya membelinya. Kalaupun saat itu saya sudah membeli sarapan, saya berikan orang lain. Saya beruntung dapat menikmati makanan khas daerah.

            Nasi megono adalah makanan khas Pekalongan. Ciri khas nasi megono, selain nasi putih, bersayur nangka muda yang dicacah, berbumbu dan berempah tertentu; rasanya gurih. Lauknya ikan asin. Nasinya pulen dan hangat, cocok disantap saat hawa dingin.

            Pekan berikutnya, saya kembali bergerilya. Penjual nasi jagung langganan sedang libur. Saya menunggu di depan supermarket. Seperti mendapati panas matahari di musim hujan, saya buru-buru menghampiri seorang lelaki. Kedua tangannya membawa wadah plastik, berisi bungkusan-bungkusan dagangannya.

            “Tidak jualan tiap hari ya, Pak? Kemarin tak tunggu gak lewat.”

            “Kemarin kan hari Minggu, aku mengaji…” jelasnya. Lalu ia mengatakan bahwa tidak setiap hari lewat di satu pasar. Di samping itu, beberapa hari ia tidak enak badan, dan libur berjualan. Apapun alasannya, saya segera membayar, dan tidak sabar menikmati nasi megono.

@@@


 

Kamis, 06 Februari 2025

Minimalis

Buku ini saya ambil dari rak, tanpa tujuan tertentu, lalu segera pergi, demi udara dingin, padahal sepanjang perjalanan menuju perpustakaan, kaus tebal tak berimbas menghangatkan tubuh. Suhu ruang perpusatakaan punya standar tertentu agar kertas-kertas bukunya tidak sobek atau berjamur.

            Sekilas judulnya bersinggungan dengan kondisi tempat tinggal saya. Alih-alih saya bisa menanam pohon rambutan, sejengkal tanah tidak ada di halaman rumah.

Dua minggu lalu saya menyambangi teman. Rumahnya di pinggir kota, daerah Gunung Pati. Ia menanam satu pohon rambutan dan tanaman-tanaman hias di halaman rumahnya. Saya bertanya mengapa tidak ditebaskan pohon itu. Dan uang dari penjualannya untuk membeli kebutuhan rumah tangganya.

            “Hanya inilah yang bisa aku bagikan ke teman-temanku,” jawabnya sambil memisahkan buah-buah rambutan dari tangkainya, lalu memasukkannya ke kantung kresek, yang disiapkan untuk saya bawa pulang. Kami duduk di lantai teras; saya membantunya. Saya tidak berhenti makan rambutan. Dagingnya tebal, ngelotok, dan manis. Sebelumnya saya dan teman-teman lain sering kecewa membeli rambutan di pasar. Terkadang rambutan-rambutan itu masam, atau tidak ngelotok. Sejak itu, setiap panen, ia senang membagikan buah-buah rambutannya kepada teman-temannya.

            Waktu menunjuk pukul empat sore ketika saya mulai membaca buku Urban Farming, sambil ditemani ‘bakpao ijo’ yang sedang viral. Orang menanam tanaman tidak harus di tanah  berhektar-hektar, sebagaimana Pak Tani dan Bu Tani. Daerah perkotaan dengan rumah-rumah berimpitan satu sama lain, orang bisa bercocok tanam, yaitu dengan istilah urban farming atau menanam di lahan terbatas.

Selain tanaman hias, sayuran dan buah-buahan juga bisa ditanam di lahan terbatas: bayam, kangkung, sawi, selada, tomat, cabai, stroberi, kacang-kacangan, paprika, melon, anggur.

Orang mengonsumsi sayuran dan buah dari tanaman sendiri, dapat mengurangi efek degradasi zat gizi. Menurut sebuah studi, sekitar 30-50% zat pada buah dan sayur akan hilang setelah 5-10 hari ditransportasikan dari kebun sampai ke konsumen.

Ada tiga teknik penanaman di lahan terbatas. Pertama, penanaman menggunakan media konvensional: tanah. Tempat tanamnya pot, bambu, atau wadah tidak terpakai. Kedua, penanaman menggunakan media air bernutrisi, yang disebut hidroponik. Ketiga, penggabungan menanam tanaman dan memelihara ikan, yang disebut akuaponik. Teknik ini merupakan simbiosis mutualisma: tanaman memanfaatkan unsur hara dari kotoran ikan; ikan mendapatkan suplai oksigen dari tanaman. Tanaman yang umum dibudidayakan: cabai, tomat, sawi, bayam, dan kangkung; ikan yang umum dipelihara: nila, lele, mas, patin, gurami, tawes.

Setiap teknik diberi gambar dan keterangan secara jelas. Pembaca mudah mempraktikkannya.

Selesai membaca buku, keesokan hari saya berkunjung ke rumah teman. Saat itu wilayah RT-nya, diwakili beberapa warga, mempraktikkan akuaponik. Saya tanyakan apakah lele-lele di dalam ember tumbuh hingga besar, dan kangkung-kangkung yang ditanaman di lubang-lubang tutup ember itu bisa dikunsumsi.

“Berhasil, kok. Sekarang usaha itu diteruskan warga. Setiap panen ikan lele dan kangkung, dia woro-woro.”

Ia bercerita penuh semangat. Terlintas dalam benak saya sebotol air mineral di dalam kulkas. Kelak botolnya akan saya gunakan menanam, mungkin cabai.

@@@