Ada
keraguan ketika saya akan membeli makanan-makanan kesukaan pada tradisi
dugderan. Pedagang-pedagangnya berasal dari luar kota. Harga barang-barang
naik, kelangkaaan gas melon, apakah mereka berjualan pada momen tahunan itu?
Dugderan
adalah tradisi masyarakat Semarang menyambut puasa Ramadan. Dugderan diadakan selama
dua minggu sebelumnya. Para pedagang makanan daerah dan makanan kekinian, para pedagang
mainan seperti aneka celengan dari gerabah, menjajakan dagangannya sekitar
alun-alun, depan Masjid Agung Semarang. Ada juga wahana permainan kora-kora, tong
setan, ombak banyu, dll.
Senja
berganti malam. Di depan masjid, tidak ada satu pun penjual makanan. Tempat itu
beralih fungsi mejadi tempat parkir kendaraan. Biasanya pedagang tahu aci
menjual dagagannya di sana.
Saya masuk arena dugderan,
menyusuri jalanan depan alun-alun, menembus jubelan pengunjung. Aroma sedap
bakaran seafood melintas hidung. Suara keriangan pengunjung, otok-otok
dari mainan kapal-kapalan, dan musik dari lapak-lapak makanan, beradu.
Sebungah
musik dari lagu energik ketika saya melihat angkringan bertuliskan makanan
kesukaan. Di belakangnya, seorang lelaki sibuk memasukkan aneka bahan-bahan
makanan dalam wajan kecil. Ia duduk di dingklik. Saya membeli seporsi. Tidak
ada pembeli lain; berporsi-porsi kerak telur dalam bungkus-bungkus kertas
coklat, menggunung. Tak lama makanan matang.
“Berapa, Pak?”
“Dua puluh lima ribu saja.”
Lalu ia memberi kembalian Rp25.000,00
sambil mengeluarkan unek-unek, bahwa, harga bahan-bahan makanan naik, banyak
pesaing, untung sedikit yang penting laku, demi dugderan.
Saya melanjutkan langkah, menembus
barisan pengunjung yang semakin lama semakin padat. Di ujung, tak ada penjual
makanan, kecuali aneka wahana permainan. Mungin saya terlewat. Saya pulang,
akan melanjutkan petualangan, esok hari.
@@@
Waktu berpacu dengan hujan. Dua hari
berikutnya saya berkesempatan mengunjungi dugderan. Sore muram; guntur menggema.
Saya teringat, tempo hari belum masuk ke alun-alun. Jalanan lengang. Saya
menoleh ke kanan ke kiri melihat para pedagang menyiapkan dagangan-dagangannya. Saya berdiri mematung di depan sebuah kedai makanan. Mata saya
kedip-kedipkan. Saya tidak salah.
“Kirain
nggak ada pedagang tahu aci,” ungkap saya setengah berteriak sambil
senyum-senyum begitu mendekat ke panjualnya.
“Ada kok,” jawab pedagangnya,
seorang laki-laki, juga senang. Ia dan istrinya bergegas menyiapkan dagangannya
untuk dijajakan. Istrinya membagi dua setiap tahu di meja racik, lalu memberinya
aci di bagian tengahnya: adonan berbahan tepung kanji yang diberi bumbu. Tahu-tahu
itu dikirm dari Tegal oleh bosnya. Begitu pun acinya diberi bumbu khas oleh
bosnya.
Seporsi tahu aci seharga Rp20.000,00
telah dibungkus. Saya bersiap menyantapnya di rumah.
@@@