Iis Soekandar: Teh Tarim

Kamis, 23 Januari 2025

Teh Tarim

Pertama kali saya mendengar teh tarim ketika ditanya teman, apakah saya pernah merasakan teh tarim. Saya jawab, alih-alih merasakan, mendengar naman teh tarim baru sekali itu. Teman saya terkekeh; ia juga baru mendengar namanya. Ia dikasih tahu temannya. Nama teh tarim lewat dari mulut ke mulut, entah siapa pertama mengembuskannya, bahkan merasakannya.

Saya browsing. Teh tarim berasal dari Kota Tarim, Yaman. Saya menghubungkan tamasya ke Timur Tengah. Yaman salah satu negara Timur Tengah. Sebagaimana oleh-oleh khas Timur Tengah, orang membeli teh tarim setelah berkunjung ke sana.

Saya bersama teman atau tetangga suka menyambangi kenalan-kenalan yang pulang dari Timur Tengah. Kami senang mendengarkan pengalaman berkesan selama mereka berada di negeri orang, sambil menikmati makanan-makanan dan minuman khas yang dihidangkan.

Malam bertabur bintang ketika saya dan teman, mengunjungi seorang kenalan. Angin bertiup sejuk. Sesejuk suasana di dalam rumah. Ibu kenalan kami baru saja pulang dari Timur Tengah. Ia beramah tamah dengan dua wanita sebaya, duduk lesehan di atas karpet. Mereka menikmati kacang arab, kismis, kurma, dll, juga air zam-sam dalam gelas sloki. Kenalan kami keluar, menemui. Ia mempersilakan kami menikmati makanan-makanan khas itu. Setelah menuangkan air zam-zam, ia juga menuangkan minuman dari poci. Sejak masuk rumah, hati saya menebak, kali ini keinginan saya tersampaikan.

“Ini teh tarim, kan?” tanya saya. Suara saya menyita perhatian mereka.

“Teh tarim?” ulang kenalan setelah menyodorkan dua gelas teh hangat. Dia menjelaskan bahwa minuman teh itu dari merek yang sehari-hari dijual di warung-warung. Ibunya tidak mampir ke Yaman. Mereka suka minum teh hangat saat bertemu. Mereka tertawa; teman saya meledek; wajah saya memanas.

Saya terus penasaran, walau tersimpan di hati. Saya tak ingin kejadian memalukan itu terulang.

Untuk kesekian kali, saya berkunjung ke kenalan, bersama para tetangga. Beberapa hari sebelumnya ia dan suaminya pulang dari Timur Tengah. Kami disambut dengan aneka hidangan khas, di atas karpet kombinasi merah-putih. Tak lama setelah memberikan air zam-zam dalam gelas-gelas sloki, ia menuangkan munuman dari poci dalam wadah-wadah plastik.

“Silakan dicicipi teh tarimnya. Itu teh khas dari Yaman!” pinta tuan rumah. Tak ingin mengulang kesalahan sama, saya bertanya kepada tetangga yang duduk di sebelah saya. Hati saya langsung nyes, begitu ia menjawab bahwa tuan rumah mengatakan teh tarim. Saya cicipi sedikit demi sedikit teh tarim. Warnanya cokelat. Tapi tidak ada rasa pahit dan asam, laiknya teh lokal. Teh tarim rasanya segar, seperti ada campuran buah, entah buah apa.

Lalu saya bertanya bagaimana bentuknya. Bentuk teh tarim kepyur. Ia juga menjelaskan, suaminya pernah belajar di Kota Tarim, Yaman. Setelah berkunjung ke Arab Saudi mereka mampir ke Tarim di pondok itu, lalu membeli teh khas.

Sebelum pulang ia membagikan satu tas khusus berisi makanan-makanan khas. Keluar dari rumahnya saya seperti mendapat tambahan uang segepok, bisa merasakan segarnya teh tarim.

@@@


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar