Pertama
kali saya mendengar teh tarim ketika ditanya teman, apakah saya pernah
merasakan teh tarim. Saya jawab, alih-alih merasakan, mendengar naman teh tarim
baru sekali itu. Teman saya terkekeh; ia juga baru mendengar namanya. Ia dikasih
tahu temannya. Nama teh tarim lewat dari mulut ke mulut, entah siapa pertama mengembuskannya,
bahkan merasakannya.
Saya
browsing. Teh tarim berasal dari Kota Tarim, Yaman. Saya menghubungkan
tamasya ke Timur Tengah. Yaman salah satu negara Timur Tengah. Sebagaimana
oleh-oleh khas Timur Tengah, orang membeli teh tarim setelah berkunjung ke
sana.
Saya
bersama teman atau tetangga suka menyambangi kenalan-kenalan yang pulang dari
Timur Tengah. Kami senang mendengarkan pengalaman berkesan selama mereka berada
di negeri orang, sambil menikmati makanan-makanan dan minuman khas yang
dihidangkan.
Malam
bertabur bintang ketika saya dan teman, mengunjungi seorang kenalan. Angin bertiup
sejuk. Sesejuk suasana di dalam rumah. Ibu kenalan kami baru saja pulang dari Timur
Tengah. Ia beramah tamah dengan dua wanita sebaya, duduk lesehan di atas karpet.
Mereka menikmati kacang arab, kismis, kurma, dll, juga air zam-sam dalam gelas
sloki. Kenalan kami keluar, menemui. Ia mempersilakan kami menikmati
makanan-makanan khas itu. Setelah menuangkan air zam-zam, ia juga menuangkan minuman
dari poci. Sejak masuk rumah, hati saya menebak, kali ini keinginan saya
tersampaikan.
“Ini
teh tarim, kan?” tanya saya. Suara saya menyita perhatian mereka.
“Teh
tarim?” ulang kenalan setelah menyodorkan dua gelas teh hangat. Dia menjelaskan
bahwa minuman teh itu dari merek yang sehari-hari dijual di warung-warung. Ibunya
tidak mampir ke Yaman. Mereka suka minum teh hangat saat bertemu. Mereka
tertawa; teman saya meledek; wajah saya memanas.
Saya
terus penasaran, walau tersimpan di hati. Saya tak ingin kejadian memalukan itu
terulang.
Untuk
kesekian kali, saya berkunjung ke kenalan, bersama para tetangga. Beberapa hari
sebelumnya ia dan suaminya pulang dari Timur Tengah. Kami disambut dengan aneka
hidangan khas, di atas karpet kombinasi merah-putih. Tak lama setelah
memberikan air zam-zam dalam gelas-gelas sloki, ia menuangkan munuman dari poci
dalam wadah-wadah plastik.
“Silakan
dicicipi teh tarimnya. Itu teh khas dari Yaman!” pinta tuan rumah. Tak ingin
mengulang kesalahan sama, saya bertanya kepada tetangga yang duduk di sebelah
saya. Hati saya langsung nyes, begitu ia menjawab bahwa tuan rumah mengatakan
teh tarim. Saya cicipi sedikit demi sedikit teh tarim. Warnanya cokelat. Tapi
tidak ada rasa pahit dan asam, laiknya teh lokal. Teh tarim rasanya segar,
seperti ada campuran buah, entah buah apa.
Lalu
saya bertanya bagaimana bentuknya. Bentuk teh tarim kepyur. Ia juga
menjelaskan, suaminya pernah belajar di Kota Tarim, Yaman. Setelah berkunjung
ke Arab Saudi mereka mampir ke Tarim di pondok itu, lalu membeli teh khas.
Sebelum
pulang ia membagikan satu tas khusus berisi makanan-makanan khas. Keluar
dari rumahnya saya seperti mendapat tambahan uang segepok, bisa merasakan
segarnya teh tarim.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar