Iis Soekandar: 2024

Senin, 30 Desember 2024

Lengkap


Setiap tahun, memberi pengalaman tersendiri. Manusia dituntut terus belajar. Saya tak ingin seperti teman saya, single parent, beranak satu, alih-alih diam di tempat, apalagi berkembang, ia merendahkan nasibnya sendiri.

            Kami bertemu tak sengaja, suatu malam, menunggu antrean kasir. Saya menanyakan anaknya yang telah lulus. Ia gelang-gelang kepala, lalu berdecak. Masalah apa yang ia alami? Aroma ikan bakar dari bagian belakang supermarket, melintas, seakan mengejeknya. Saya bersedakap, mengurangi dingin AC.

            “Sekolah SMA dengan kuliah itu beda. Mana ada kuliah gratis. Dia anak perempuan, cukuplah sekolah SMA,” katanya mulai bercerita. Cerita berikutnya berisi penyesalan. Ia guru privat, memberi les perorangan dan kelompok. Satu per satu peserta didiknya undur diri, dengan alasannya masing-masing. Hingga rezeki terakhir ia terima, cukup untuk dirinya sendiri. Ia menyalahkan pikirannya yang salah. Kalau saja ia berniat menguliahkan anaknya, ia yakin, Tuhan memberi rezeki. Anaknya pun melanjutkan menuntut ilmu di perguruan tinggi, dan kelak, mendapatkkan pekerjaan lebih baik, dibanding yang ia jalani sekarang: tenaga serabutan.

            Ia berusaha tersenyum, mengakhiri ceritanya, gilirannya membayar belanjaan.

             Lalu, apa yang bisa saya lakukan selanjutnya dalam kepenulisan cerpen?

            Dunia digital, informasi menjadi mudah dan cepat. Saya membuka medsos, mencari unggahan teman-teman. Setelah usaha ke sana ke sini, saya menemukan kelas yang sedang saya butuhkan. Lalu saya mengikutinya. Saya pernah berguru tentang cara membuat resep tulisan yang baik. Sekarang, saya mendapat tambahan ilmu tentang cara mengolah resep yang bagus. Kini ilmu saya lengkap.

            Tahun 2024 adalah pengalaman saya menulis karya baik dan bagus. Salah satu arti “baik” menurut KBBI adalah tidak ada celanya. Bagi saya, ini mengacu pada kesempurnaan resep, tanpa kekurangan (deskripsi tokoh, keinginannya, caranya, hambatannya dan resolusinya. Sedangkan “bagus” adalah baik sekali, merunut pada pengelolaan yang tepat ( membuat kalimat atau paragraf awal yang menarik sehingga pembaca mengikuti adegan selanjutnya, membuat kalimat perumpaan yang tepat, tidak membuat tokoh sekunder percuma, tidak membuat adegan percuma, latar yang detail, membuat ending yang sesuai, dll.)

Baik dan bagus saya terapkan setiap saya menulis karya.

            Kegiatan menulis cerpen menjadi mudah setelah setiap pekan saya berbagi cerita, seputar pengalaman menulis, tamasya, dan kuliner. Cerita itu saya kerjakan selama satu minggu. Saya membuat draf, mengedit berulang-ulang, hingga menjadi tulisan sempurna. Dua pekan saya berbagi cerita, efeknya terasa, saya lancar membuat sebuah adegan (ada pembuka, ada tokoh, ada latar, ada konflik, ada penutup) Karena cerpen adalah kumpulan adegan. Semoga kelancaran itu berimbas terbitnya karya-karya saya di tahun 2025. Amin.

@@@

 

Es Gempol



Dulu saya sedih setiap melewati Pasar Randusari. Letaknya tidak jauh dari TPU Bergota. Setelah saya menaiki jalan menanjak menuju makam bapak, lalu pulang, sambil beristirahat, lelah terbayar dengan menikmati semangkuk es gempol yang segar.

Matahari mulai meninggi. Saya tidak melihat wadah-wadah berisi komponen-komponen es gempol. Lapaknya kosong. Letaknya di pinggir pasar, mudah dilihat dari jalan raya. Saya pikir wanita lansia berkonde, wajahnya bulat, berkebaya kutubaru, kulitnya putih, ada keperluan atau sakit. Saya berlalu.

Lain waktu saat saya berziarah lagi, tidak menemukan minuman kesukaan itu. Lalu saya bertanya kepada wanita penjual bunga yang mangkal di sekitarnya.

            “Dia sekarang di rumah. Lapaknya dijual,” jawabnya sambil melirik bekas lapak es gempol. “Anak-anaknya punya pekerjaan sendiri-sendiri,” tambahnya, juga menyayangkan. Padahal pelanggannya banyak. Bahkan ia pernah bercerita bahwa salah satu pelanggannya yang kini tinggal di Amerika, membeli es gempolnya setiap pulang Semarang. Saya pulang dengan hati sedih.

Sejak itu, entah mengapa, saya tidak berminat minum minuman dingin berkuah santan, berisi: gempol warna putih, dan pleret merah muda, lalu diberi es batu. Padahal banyak penjual es gempol.

Sampai suatu siang saya jalan-jalan ke Pasar Johar, yang selesai direnovasi akibat kebakaran. Banyak kios kosong, terlebih di lantai dua. Banyak pedagang belum berpindah dari Pasar Johar baru. Udara panas semakin mengganas. Saya kehausan lalu mencari minuman. Ada penjual es gempol, satu-satunya penjual minuman dingin yang saya temui. Saya membeli. Tempat penyajiannya di gelas besar, bukan mangkuk seperti biasanya. Begitu saya santap, ada tambahan makanan, rasanya manis, bentuknya seperti mi. “Itu putu mayang, ciri khas gempol dari Welahan,jelas penjualnya. Putu mayang biasanya sebagai penganan.

Seru makan es gempol welahan. Saya ketagihan menikmati gempol putih, pleret hijau, dan putu mayang rasa original: gula merah, dipadu kuah santan dan es batu. Setiap kali belanja ke Pasar Johar saya mampir. Bahkan terkadang saya ke Pasar Johar hanya untuk menimkati segelas es gempol welahan, yang khas dengan tambahan putu mayang.

Apakah ada es gempol dari daerah lain dengan varian berbeda? Mungkin.

@@@

 

Mangga Gurih VS Mangga Mahatir



Musim mangga belum usai; saya masai. Dari sekian lama musim mangga, saya tidak menemukan mangga gurih. Bentuknya agak bulat pipih, kecil, kulitnya hijau pekat. Saya suka menyantapnya setengah matang.

Hampir setiap pagi saya melewati pasar. Setelah salat Subuh di masjid saya sengaja jalan memutar, jalan-jalan dan menghirup udara pagi yang segar, sekalian berbelanja yang sedang saya butuhkan. Saya membeli sarapan dan buah-buahan.

Di pasar, banyak orang berjualan mangga. Pedagang ayam, pedagang bumbu, pedagang sayur, yang sehari-hari tidak menjual buah-buahan, menjual mangga. Rata-rata mereka menjual lebih dari satu jenis mangga. Ada banyak jenis mangga: arumanis, gurih, manalagi, indramayu, golek, tailan, apel, dan mungkin ada macam mangga-mangga lain.

“Kenapa tidak jual mangga gurih, Mas?” tanya saya penasaran. Kami berbincang dalam bahasa Jawa.

“Mangga gurih harganya mahal! Dari pengepul 12 ribu sekilo, Terus aku mesti jual berapa? Mana ada konsumen beli. Mangga di sini rata-rata 10 ribu sekilo, bahkan ada yang nawar 7 ribu,” jawabnya, seperti tertuduh membela diri pada kasus pencurian yang tidak ia lakukan. Dia tersinggung saya mengira modalnya terbatas.

“Ya udah, Mas.” Saya juga kesal. Saya bertanya, tidak menuntut. Beruntung saya tidak sekadar bertanya tentang mangga gurih, tapi juga membeli mangga arumanis, jualannya. Tiba-tiba bau knalpot menusuk hidung; suara klakson memekak telinga. Berada di pasar krempyeng pinggir jalan, pembeli tak bisa berlama-lama. Setelah membayar sepuluh ribu, saya berdiri, dan pergi.  

Sehari-hari saya tinggal di daerah panas, bergelut dengan debu, cocok refreshing ke pedesaan, seperti ke Gunungpati. Saat saya makan siang, terlihat pohon mangga di pinggir restoran itu. Saya bertanya kepada seorang lelaki di situ.

“Kalau minat saya sambungkan ke pemiliknya. Namanya mangga mahatir,” jelasnya berpromosi. Alih-alih saya menemukan mangga gurih, mangga yang saya temui ukurannya jumbo. Bentuknya mirip huruf S.

“Belakangnya pakai Muhammad?” tanya saya berkelakar. Bapak itu bengong. Lalu ia tertawa setelah saya jelaskan bahwa Mahatir Muhammad nama mantan PM Malaysia. Beratnya satu kilo; harganya sepuluh ribu. Saya beli. Ternyata di sebelah restoran ada perkebunan mangga mahatir. Saya tolak tawarannya ke sana; hari jelang sore.

Dagingnya tebal; isinya tipis. Rasanya termasuk manis, walau tidak semanis mangga arumanis, yang dari luar menguar aroma manis. Gara-gara mangga gurih saya mendapatkan koleksi mangga mahatir. Kini, saya tahu ke mana tempat saya sambangi jika butuh mangga mahatir.

                                                                                       @@@ 

Jumat, 27 Desember 2024

Salah Sangka

Setiap orang mungkin ingin melakukan hal berbeda pada hari libur. Begitu pun saya, Minggu lalu, saat ingin sarapan, kalaupun di luar, tidak di kedai biasanya, sekalian refreshing.

Saya memilih Pujasera Regency. Letaknya di tengah perumahan, daerah Ngesrep Barat, Banyumanik, termasuk Semarang atas. Saya tinggal di Semarang bawah.

Tiba di tempat, saya pikir tempat itu hanya menjajakan makanan, ternyata ada mainan anak-anak, juga penjual buah-buahan dan sayuran.

Aroma lezat serabi menyambut kedatangan saya. Penjual menjajakan makanannya depan pintu masuk bangunan, berkonsep gubuk, namun luas. Penjual lelaki duduk di dingklik sambil menuangkan adonan dalam wajan-wajan kecil, lalu menambahi makanan-makanan sebagai rasa-rasa khusus. Penjual wanita melayani pembeli. Melihat antrean panjang, saya menyerah.

Lalu saya masuk. Kedai-kedai makanan berdiri di pinggir, kursi-kursi pembeli di tengah. Pembeli berjubel lintas etnik, lintas generasi. Beragam makanan dijual: tahu aci, siomai, sup matahari, ayam geprek, swike, kwitau, dll.

Tidak ada satu pun kursi kosong di dalam. Di alam bebas, para pembeli juga memenuhi kursi-kursi dengan diteduhi payung-payung. Setelah jalan ke sana ke mari, memlih antrean minimal, saya memesan siomai. Sambil menuggu makanan pesanan, saya bincang-bincang dengan salah satu penjual.

“Ramai pengunjung, banyak untungnya, Koh?” tanya saya sambil memperhatikan ia meracik bahan-bahan makanan untuk dimasak.

            “Ya nggak juga. Yang penting lumayan,” jawabnya tertawa, memamerkan gigi-gigi putihnya; matanya segaris. Ketika saya menebak bahwa rumahnya seputar pujasera, saya salah.             “Medoho,” jawabnya.

Tentu tidak saya perlihatkan ketidakdugaan saya bahwa ia harus menempuh puluhan kilometer dari rumah menuju pujasera. Maka ia mematok harga berlipat ganda dari harga umum, mungkin juga penjual-penjual makanan lain, belum lagi membayar sewa kedai. Namun secara keseluruhan, pujasera memberi banyak fasilitas, termasuk makan di alam bebas sambil melihat Kota Semarang dari atas. Dengan buka hanya hari Minggu dari jam 07.00 hingga 12.00 para pengunjung rindu ke sana lagi.

Saatnya saya menyantap siomai. Tanpa bermaksud ikut campur urusan orang lain, saya mendengar dialog dua wanita, semeja dengan saya. Usia mereka sekitar 25 tahun. Penampilannya sama-sama keren. Semula saya kira mereka dua sahabat, namun, si rambut pendek memerintah ini itu, si rambut panjang menjalankan perintah tanpa penolakan, dan hubungan itu lebih mirip majikan dengan pembantu.

Di perjalanan pulang, saya senyum-senyum atas semua pengalaman pagi itu. Mungkin saya perlu mengoptimalkan sensorik atau indra (penglihatan, pendengaran, penciuman, dll), agar menyikapi hidup secara tepat, dan, tak salah sangka.

@@@







 

Target Membaca

 

Saya batuh perjuangan ekstra menuntaskan buku nonfiksi ini. Padahal objeknya tidak asing dalam kehidupan saya: kambing etawa. Sekali tempo saya minum susu kambing etawa, rasanya agak manis dan lebih kental dibanding susu sapi. Saya tidak bermaksud membudiyakan kambing etawa. Buku ini sebagai selingan dan pengetahuan di antara bacaan buku-buku fiksi.

Saya biasa meminjam buku-buku nonfiksi dari perpustakaan, maksimal 2 buku, durasi 2 minggu. Ada kalanya saya meminjam buku tentang hewan, atau tumbuhan, atau apa pun yang sedang saya minati. Buku satu lagi tuntas saya baca.

Tapi buku Kambing Etawa sampai batas peminjaman, masih tersisa setengah buku lagi. Saya pun memperpanjang peminjaman. Antara malas atau ingin menuntaskan, saya malas membaca. Tayangan-tayangan televisi lebih menarik: berita-berita program kabinet baru yang tak biasa dari sebelum-sebelumnya, mantan pejabat yang wajahnya kalem dan senyum-senyum akhirnya pakai rompi oranye, belum lagi seputar pilkada.

Sementara nama Gabriel Gracia Marques, penulis asal Kolombia, beberapa pekan berada di benak. Berawal saat saya melihat postingan teman. Hari berikutnya saya menemui hal yang sama. Pastilah beliau penulis hebat. Kapan saya baca karyanya?  

Saya melihat kalender, batas peminjaman kedua tiba. Itu artinya sudah satu bulan saya meminjam buku tapi belum tuntas, setebal 180-an hlm, yang jika buku fiksi 2 atau 3 kali duduk selesai. Dalam waktu bersamaan seorang teman di Facebook menawarkan buku berisi karya Gabriel Garcia Marques. Seperti melihat satu mug kopi panas pagi hari, saya langsung, ok... M.  

Pulang dari transfer hati saya resah. Ada buku bagus; buku perpus belum kelar. Di antara renungan malam itu, terlintas: saya harus menuntaskan buku itu sebelum membaca buku baru. Jika tidak, perbuatan tidak baik itu akan saya ulang untuk kedua, ketiga, dst.

Keesokan hari, saya pergi ke perpustakaan, meminjam buku baru dan memperpanjang buku Kambing Etawa.

Lega, akhirnya saya menuntaskan buku Kambing Etawa, saatnya merayakan karya-karya Gabo, panggilannya.

@@@


Penuh Semangat

 

            Saya terdiam, begitu tiba di bibir jalan setapak, bertanah liat, berundak, menurun tajam, dan sedang musim hujan. Saya pikir Kali (Sungai) Udal Gumuk adalah wisata alam mudah dijangkau, dan landai. Saya memberi kesempatan pengunjung lain untuk jalan mendahului. Barulah setelah keberanian saya terkumpul, dan tak mau merugi telah menempuh jarak hampir empat jam, penuh semangat saya menuruni tangga menuju sungai.

              Ahirnya saya tiba di bawah, duduk di gubuk dan memesan mi instan.


            Tempat wisata ini masih alami, tidak dipungut biaya, hanya mengisi kotak amal seikhlasnya, dan membayar parkir kendaraan. Ia sebuah sungai, airnya bening, anak-anak dan orang dewasa bebas mencebur. Pengunjung yang tidak bisa berenang, menyewa pelampung Rp5.000,00. 

             Lalu saya berdiri di jembatan, yang membelah sungai. Angin berkesiur, dinginnya melintasi kulit tubuh. Langit pukul satu siang laksana enam pagi. Bumi kehilangan matahari. Pohon durian, pohon pisang, pohon kolang kaling, pohon nangka, dan entah pohon-pohon apa lagi, merimbuni sisi kiri kanan sungai, di antara gubuk-gubuk para penjual makanan-makanan dan minuman-minuman instan, juga gubuk-gubuk untuk para pengunjung. Keriuhan pengunjung anak-anak bermain air baru saja selesai. Dan, kepenatan saya selama sepekan, mengalir bersama pusaran air.   



          Sebagaimana tempat wisata-tempat wisata yang mengangkat kearifan lokal, para penjual makanan dan minuman adalah penduduk setempat. Berdasarkan keterangan wanita berambut keriting sebahu, penjual mi instan yang saya beli, Kali Udal Gumuk berawal saat pandemi Covid-19. Anak-anak tidak ke sekolah; mereka bermain air di sungai. Pembicaraan dari mulut ke mulut tentang sungai yang airnya bening, viral. Pembangunan dilakukan baru-baru ini: undakan bagian bawah, dari sepanjang kira-kira seratus meter. Ketika saya menjawab pertanyaannya tentang asal saya, ia tertegun. Tempat itu jauh, ia menyimpan kenangan.

            “Empat tahun lalu saya ke Semarang. Pokonya sebelum pandemi!” tandasnya meyakinkan ingatannya. “Sempat salat di masjid Semarang,” jelasnya tentang Masjid Agung Semarang.

            “Ibu punya saudara di Semarang?” tanya saya, tak terasa semangkuk mi rebus bersayur kol hampir ludes.

            “Saya berombongan, ada undangan tetangga. Dia punya hajad: mbesan.” Ketika saya menyatakan bahwa tetangganya itu kini sering ke Semarang karena punya besan orang Semarang, ia menjeda pembicaraan. Lalu jawabnya, “Dia dan keluarganya sudah pindah ke Semarang, juga ketiga adiknya. Sekarang rumah mereka kosong,” jelasnya. Rasa  kehilangan terlihat dari wajahnya yang sendu; rasa iri terdengar dari suaranya yang pilu. Mereka sukses menjadi pengusaha ayam goreng; ia tetap berada di kampung halaman.

            Saya menetralisir bahwa ia juga beruntung. Kali Udal Gumuk ramai, terutama hari libur dan akhir pekan. Banyak orang datang ke Mungkit, Magelang, termasuk saya. Saya senang ibu itu kembali tersenyum. Lalu saya membayar mi rebus Rp6.000, dan kembali menaiki undakan, menuju pulang, penuh semangat.   

@@@


Kamis, 26 Desember 2024

Manisan Kolang-Kaling

 

             “Tidak jual sate kolang-kaling,” jawab penjual gilo-gilo ketika saya tanya tentang penganan dari olahan manisan kolang-kaling dan disunduk seperti sate. Warnanya merah. Lalu saya membeli buah-buahan: pepaya, nanas, semangka, bengkuang, melon. Dan kerinduan saya itu pupus.

Jawaban sama saya terima dari setiap penjual gilo-gilo yang saya temui. Penjual gilo-gilo menjual buah-buahan dan aneka penganan. Ketika saya kecil penjual gilo-golo juga menjual sate kolang-kaling. Mereka memberi alasan pedagangnya meninggal dan tidak ada penerusnya. Mungkin karena banyak ragam makanan anak-anak dijual di warung-warung, sehingga tidak ada lagi pedagang sate kolang-kaling.

            Saya berniat membuat manisan kolang-kaling ketika berkunjung ke produsen pengolah kolang-kaling, di daerah Boja. Produsen membeli kolang-kaling mentah dari Temanggung. Buah-buah kolang-kaling menempel pada cabang-cabang tandan, dan teronggok di teras rumah. Warna kulitnya hijau pekat dan menjadi cokelat kehitaman setelah direbus.


         Saya masuk dapur, melihat pengolahan kolang-kaling. Di atas tungku ada panci besar berisi buah-buah kolang-kaling yang dimasak selama 4 jam. Bau kayu sebagai bahan bakar menusuk hidung. Sesekali panas asapnya terasa di kulit. Sisi kiri kanan tungku-tungku dibiarkan terbuka, dengan mudah saya melihat pepohonan dan kandang kambing di belakang.


Sisi kiri dapur tempat kolang-kaling sudah jadi, siap dibeli. Sisi kanannya, wanita berdaster duduk di dingklik mengupas kolang-kaling. “Jika mata kulit ini ada 2, berarti, kolang-kaling di dalamnya ada 2,” jelasnya sambil menunjukkan satu buah sebesar bola golf, lalu membelahnya dengan pisau. Setelah kulitnya terbuka, ada 2 kolang-kaling berwarna putih, lonjong. Ia meletakkannya dalam satu wadah. Saya mencicipi. Rasanya agak pahit, kenyal. Kemudian dia mengambil buah kolang-kaling lagi, kulitnya bermata 3. Ia membelah, dan, di dalamnya ada 3 kolang-kaling. Saya tertarik.

            Saya membeli satu kilogram kolang-kaling utuh. Ada kolang-kaling gepeng, itu berarti sudah digencet, dengan kayu berat. Harganya seratus persen lebih murah dari harga di pasar tempat saya biasa berbelanja.

kolang-kaling sudah dikupas

                 Beberapa hari setelah itu, kolang-kaling saya olah.

            Untuk menghilangkan lendirnya, kolang-kaling saya cuci berkali-kali dengan air, dan rebus selama sepuluh menit; setelah itu buang airnya. Kolang-kaling kembali saya rebus sekitar setengah jam, dengan tambahan gula pasir, pewarna, daun pandan, dan daun jeruk. Setelah  dingin, saya taruh kolang-kaling di kulkas semalam. Hari berikutnya, manisan kolang-kaling siap saya santap.

            Karena saya tidak menjualnya, saya tidak membuat sate kolang-kaling. Saya letakkan manisan kolang-kaling di piring saji, lalu ambil pakai garpu. Selamat mencoba bagi teman-teman, yang, juga tertarik.

@@@


 



Kolaborasi

Waktu menunjuk pukul tujuh malam ketika saya dan seorang teman selesai mengerjakan tugas. Saatnya kami makan malam. Kami ingin menghadiahi diri setelah bekerja keras.

“Makan nasi ayam enak nih,” katanya mengusulkan. Lama dia tidak makan nasi putih lauk ayam dimasak opor, dan sayur sambal goreng jipang atau labu siam.

“Ayam lagi, ayam lagi,” tanggap saya. Dia agak tersinggung.

Kami bersitegang sebelum memutuskan jalan sendiri-sendiri. Buat saya, walau ayam sesuwir, sama saja makan ayam. Bahkan kuah opornya aroma ayam. Beberapa hari terakhir setiap hari saya makan nasi lauk ayam, dengan berbagai olahan. Saya teringat rekomendasi kenalan, di Jalan Dokter Cipto, ada penjual nasi gandul yang lezat, makanan khas daerah Pati.

Mobil-mobil berjejer ketika saya tiba di kedai penjual nasi gandul. Tukang parkir memberi tempat dengan aba-aba pada mobil yang baru datang. Ada penyanyi mangkal di depan kedai, serasa di kafe. Di sebelahnya, ada kotak kardus, tempat saweran dari pengunjung.

Para pembeli memenuhi di kursi-kursi plastik. Saya duduk di ujung. Ada beberapa pilihan lauk; saya pesan nasi gandul lauk daging. Baru saja saya akan request lagu, sambil menunggu pesanan tiba, mengalun intro lagu kesukaan saya; dan itu sesuai dimainkan dengan alat musik gitar. Saya menirukan melodinya. Selesai sebait saya ikut melantunkan liriknya, seorang anak wanita, pedagang tisu, mengganggu meminta saya membeli dua tisu. Saya selalu membawa tisu, tapi untuk tidak mengecewakannya, saya memberinya selembar sepuluh ribu, sesuai keinginannya. Saya perhatikan di meja tidak ada tisu, entah habis, atau pedagang tidak menyediakan tisu.

Lagu “Kangen” Dewa 19 masih melantun. Saya manggut-manggut, sesekali menirukan liriknya, sesekali menirukan melodinya. Nasi gandul berkuah kental, rasanya manis, mirip gulai, tapi tidak ada sentuhan daun korokeling yang aromatik. Dagingnya empuk. Entah kapan saya menikmati nasi gandul, di lain tempat.

 Pikiran saya menangkap sesuatu. Ia adalah sebuah harmoni, dari kolaborasi pedagang nasi gandul, penyanyi, pedagang tisu, dan tukang parkir. Satu sama lain saling memberi kontribusi dan keuntungan materi, yang semua itu, menciptakan kenyamanan dan rasa ingin kembali menikmati nasi gandul di tempat ini, setidaknya bagi saya.

Saya teringat cerita teman, yang rukonya di pinggir jalan.

“Apa dia tidak sadar, perbuatannya mengganggu lingkungan? Seenaknya membuang sampah di tempat orang. Hampir tiap hari pembantuku bersih-bersih,” keluhnya, tentang sedikit lahan kosong di sisi kiri rukonya yang sering menjadi tempat pembuangan sampah orang tidak bertanggung jawab. Saya prihatin.

Setelah bercerita dengan banyak teman, ia bersyukur, ada pedagang minuman yang butuh lahan. Tempo hari saya lewat, lingkungannya bersih, setelah kolaborasi antara teman saya dan pedagang minuman.

Penyanyi berganti melantunkan lagu dari penyanyi solo wanita. Nasi gandul telah ludes. Saya mengambil tisu menghalau peluh. Saya tak selalu membawa alat make up, untuk memperbaiki kerudung, dan riasan. Saya teringat teman, yang tadi memilih makan nasi ayam. Ia tak begitu suka membawa tisu. Bagaimana jika rumah makan yang ia tuju tidak ada tisu, seperti di sini. Biasanya dia meminta saya; tapi dia rajin bawa alat make up.

Sebelum dandanan saya yang mungkin tak karuan, dilihat banyak orang, saya buru-buru membayar, dan, pergi.

@@@




 

Ketika Hujan Tak Kunjung Reda

 

Sore diguyur hujan deras, dan tak ada tanda segera reda, ketika saya akan pergi ke toko aksesori. Aksesori itu akan saya pakai kondangan hari Minggu. Saya harus mencarinya di beberapa toko, jika satu toko tak menemukan. Sebotol bir pletok, pemberian saudara, tinggal separuh. Warnanya merah muda, kombinasi kayu secang yang merah dan susu putih. Rasa dan aroma jahenya tak setajam wedang ronde. Bir pletok cocok diminum saat hawa dingin.

Saya meraih  buku kesayangan: Kisah Seribu Satu Malam. Buku ini selalu ada di meja kerja saya. Saya membacanya pada waktu senggang, atau butuh rujukan, atau melupakan sejenak kesusahan.

Bentuknya antologi; saya memilih judul cerita sembarang. Setiap akhir adegan dalam cerita itu, selalu membuat saya penasaran: di depan, ada adegan lebih menarik, dan saya mengikutinya, begitu seterusnya, dan tanpa terasa, cerita selesai.

Pantaslah, Raja Syahrayar, akibat pengalaman dikhianati istri pertama, tidak jadi membunuh Ratu Syahrazad. Mereka kemudian memiliki anak. Setiap Ratu selesai bercerita, Raja penasaran, ingin mendengar cerita lain, malam berikutnya, dan tak terasa, malam keseribu satu. Hal ini mematahkan pendapat Raja, bahwa semua wanita atau istri: pengkhianat, dan tidak membunuhnya selesai malam pertama.  

Saya suka karya ini: di dalam adegan ada adegan. Cerita menjadi rumit dan menarik. Penggambaran setting detail; seakan saya berada di sana.

Setiap cerita kental pendidikan moral. Saya merenungi selesai membaca satu cerita,  seperti kisah Raja Syahzaman, adik Raja Syahrayar. Ia dikhianati istrinya sebelum kakaknya mengalami. Raja Syahzaman dikhianati satu wanita: istrinya; Raja Syahrayar dikhianati sebelas wanita: istri dan sepuluh selirnya. Raja Syahzaman sembuh dari sakitnya; ia beruntung.

Mirip keadaan itu saya alami saat saya tamasya ke Sam Poo Kong. Saya menghindari tanggal merah; tarip masuk pasti tinggi. Ternyata, tanggal 24 Desember, sebagaimana kedatangan saya, dihitung libur Nataru, harga tiket masuk reguler lima belas ribu menjadi dua puluh lima ribu rupiah. Saya menyesal, mengapa tidak bepergian sebelum tanggal 24. Uang sepuluh ribu dapat menebus segelas gempol welahan, sisa seribu rupiah.

Selesai saya jalan-jalan dan swafoto, di halte, seorang wanita, juga calon penumpang bus Transsemarang, mengeluh.

“Anak saya sewa satu kostum delapan puluh ribu. Hanya untuk poto-poto di depan klenteng. Saya pikir tidak semahal itu,” katanya, begitu tahu saya dari Sam Poo Kong. Saya tidak bermaksud merendahkannya, tapi melihat rok dan blus sederhananya, wajah tanpa make up, bersandal jepit, dan keluhannya, kehilangan uang delapan puluh ribu sangat berarti. Kesedihan saya jauh lebih ringan dibanding yang ia alami.   

Tek tek tek … tek tek tek … tek tek tek …

Ketokan penjual bakso memanggil. Hujan reda. Segera saya selesaikan cerita dari kebudayaan zaman Khalifah Harun Al Rasyid itu. Lalu, saya berpayung, pergi ke toko aksesori, menepis gerimis tipis.

@@@