Raviu, Tegar, dan Akbar terlihat
sedang memarkir sepedanya di halaman rumah Pak Bowo. Rumah Pak Bowo searah
dengan rumah mereka. Sepulang sekolah, mereka sering duduk-duduk di bawah pohon
sambil beristirahat di halaman rumah Pak Bowo. Halaman rumah Pak Bowo luas dan
rindang karena banyak pepohonan. Apalagi pohon jambu airnya sedang berbuah. Di samping
itu, Pak Bowo orang baik. Ia seorang peneliti dan senang rumahnya didatangi
anak-anak.
“Pak
Bowo, minta buah jambu airnya ya!” pinta Raviu yang bertubuh tambun. Pak Bowo
kebetulan baru saja keluar dari rumahnya. Ia sedang berjalan menuju
laboratorium yang teletak di sebelah rumah. Pak Bowo membawa sebuah apel warna merah.
“Silakan ambil! Tapi, jangan lupa cuci
tangan!” pesan Pak Bowo sebelum melanjutkan aktivitasnya. Begitulah Pak Bowo selalu
mengingatkan pentingnya menjaga kebersihan.
“Baik, Pak,” jawab mereka hampir bersamaan dengan senang hati.
Mereka langsung memanjat pohon jambu air
dan memetik banyak buah jambu. Tidak hanya mencuci tangan, jambu-jambu itu pun
dicuci. Di sisi kiri halaman rumah Pak Bowo disediakan kran.
“Tumben, tadi Pak Bowo membawa buah apel.
Sudah lama aku tidak makan apel,” ungkap Raviu. Mereka makan buah jambu di
bawah pohon.
“Iya, ya, padahal pohon jambunya
sedang berbuah. Hm...segar karena banyak airnya,” sambung Tegar. Walaupun
tubuhnya kecil, dia paling banyak menghabiskan buah jambu.
“Tapi, rasa buah jambu beda dengan apel.
Siapa tahu, Pak Bowo bosan makan buah jambu, terus ingin makan buah apel
merah,” tukas Akbar.
“Atau, Pak Bowo sedang membuat percobaan
berkaitan dengan apel merah. Bukankah tadi langsung masuk ke laboratorium?”
terka Tegar.
Mereka makan jambu air dengan puas. Jika
ingin ke kamar mandi, mereka pergi ke belakang rumah. Kamar mandi khusus untuk
pembantu Pak Bowo berada di belakang rumah.
Setelah puas makan jambu air,
mereka pamit. Mereka menemui Pak Bowo di laboratoriumnya.
Tok tok tok...
“Maaf, Pak Bowo, kami mau pamit dan
terima kasih jambu airnya,” ungkap Akbar. Pak Bowo tidak segera menjawab, tapi
malah terlihat bingung. Beliau seperti sedang mencari-cari sesuatu.
“Apakah di antara kalian ada yang
makan apel di atas meja? Sebelum Bapak pergi untuk makan siang, apel ini tiga
potong. Sekarang, tinggal dua potong. Bapak sudah tanya Mas Baskoro, tapi dia
bilang tidak makan,” tanya Pak Bowo. Mas Baskoro adalah pembantunya.
“Saya tidak makan, Pak!” jawab Akbar.
“Saya tidak makan, Pak,!” kata Tegar.
“Saya juga tidak makan, Pak!” tambah
Raviu.
“Memangnya kenapa kalau makan buah apel
itu, Pak?” tanya Raviu penasaran. Begitupun Tegar dan Akbar.
“Ah, tidak apa-apa. Silakan kalau kalian
mau pulang,” jawab Pak Bowo.
Mereka pun langsung pulang. Meski Pak
Bowo mengatakan tidak apa-apa, ketiganya penasaran. Pasti ada sesuatu yang
dirahasiakan Pak Bowo.
Dua hari kemudian, Raviu tidak masuk
sekolah. Tegar dan Akbar menengok ke rumahnya sepulang sekolah.
“Perutku sakit desentri. Apa gara-gara
aku makan apel di laboratorium Pak Bowo? Sakit desentri bisa juga disebabkan
makanan yang tidak terjaga kebersihannya, begitu kata dokter,” jelas Raviu
sambil terbaring di tempat tidur.
Kemudian Raviu bercerita. Siang itu ketika Tegar dan Akbar ke kamar mandi, ia melihat Pak Bowo keluar dari laboratorium. Pada saat itulah Raviu mengambil apel merah dan menyantapnya. Toh hanya sepotong, pikirnya.
“Jadi kamu yang makan apel
percobaan Pak Bowo?” tanya Tegar. Akbar yang mendengar juga heran.
“Iya, maafkan aku teman-teman. Aku
berbohong pada kalian terlebih kepada Pak Bowo. Setelah aku sembuh, maukah kalian
antar aku ke rumah Pak Bowo? Aku mau minta maaf sekalian ingin tahu apel merah
yang aku makan.”
Tentu saja keduanya bersedia. Di samping
itu mereka penasaran ada apa dengan apel merah itu. Bukankah buah apel rasanya
lezat? Mengapa perut Raviu malah sakit?
Raviu, Tegar, dan Akbar sengaja menemui
Pak Bowo di laboratorium. Betapa mereka kaget setelah mendengar keterangan Pak
Bowo.
“Pantas saja perut Raviu sakit,” ucap
Pak Bowo.
Kemudian, Pak
Bowo memperlihatkan tiga stoples masing-masing berisi sepotong apel merah.
“Stoples pertama berisi apel
normal, artinya tidak tersentuh tangan kotor. Stoples kedua berisi apel kotor.
Karena Istri bapak yang baru saja beraktivitas di luar sengaja Bapak suruh
pegang apel secara keseluruhan. Sedangkan pada stoples ketiga, bapak suruh
istri Bapak mencuci dulu tangannya dengan bersih sebelum menyentuh apel itu. Lihatlah,
mana yang paling banyak berwarna hitam? Apel yang kotor, bukan? Karena banyak
mengandung bakteri. Nah, tempo hari Raviu menyantap apel yang kotor. Itulah
pentingnya mencuci tangan sebelum makan.”
Mereka manggut-manggut. Mereka semakin
mengerti pentingnya menjaga kebersihan. Terutama Raviu berjanji tidak teledor
lagi.
@@@
Cerpen ini pernah terbit di majalah
Bobo, 22 September 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar