Pagi
itu, Mama mengajak Monika berlibur ke rumah Nek Ijah di Salatiga. Nek Ijah
adalah asisten rumah tangga yang selama ini membantu keluarga Monika.
“Menengok Nek Ijah di Salatiga?
Malas ah!” jawab Monika.
“Nek
Ijah kan minta pulang karena sakit. Kita tengok, apa Nek Ijah sudah sembuh.
Lagi pula, kalau pun sudah sembuh, Nek Ijah mungkin tidak kembali lagi ke rumah
kita. Nek Ijah kan sudah tua,” jelas mama Monika.
“Ajak
kakak-kakak saja, Ma,” ujar Monika tetap tak mau ikut.
“Kak Irma akan berkemah liburan ini. Kak Awal
malah persiapan ujian,” ujar mama.
“Selama
ini, kita selalu berlibur ke tempat wisata. Sekali-sekali, liburan di desa yuk,”
lanjut mama.
Monika hanya diam. Mama tidak
membujuk lagi karena terdengar bunyi mobil papa. Mama pergi untuk menyambut
papa. Sementara itu, Monika berlari masuk ke kamar Kak Irma.
“Sudahlah, kamu ikut Mama saja,” ujar Kak
Irma setelah mendengar cerita Monika, sambil
sibuk menyiapkan perlengkapan kemahnya.
“Uh, Kakak sih enak. Kalau liburan di
kampung kan sepi. Apa yang mau dilihat? Kalau cuma pohon-pohon hijau dan gunung,
aku juga suka menggambar alam pedesaan. Jadi nggak perlu ke sana,” gerutu
Monika.
Kak Irma hanya tersenyum mendengar
keluhan Monika.
ilustrasi dari Bobo
Akhirnya,
dengan berat hati, Monika mengikuti ajakan mama. Ia tak mau juga kalau hanya
ditinggal berdua dengan Kak Awal yang sedang sibuk belajar.
Di sepanjang perjalanan, hati Monika
dongkol. Ia sendirian duduk di tengah, sedangkan mama di depan menemani papa
menyetir.
Setelah
menempuh perjalanan tiga jam, akhirnya mereka sampai di pedesaan. Seperti
dugaan Monika, di sana sini terhampar pemandangan hijau dengan berbagai macam
tanaman. Banyak juga buah-buahan seperti mangga, pisang, jambu biji, pepaya....
“Ah Pak Wingky, Ibu. Wah, Monika juga ikut.
Terima kasih sudah datang,” sambut Nek Ijah ketika Monika dan Mama Papa tiba di
rumahnya.
Nek Ijah tidak menyangka dan amat
senang melihat mereka.
“Nek Ijah sebetulnya sudah sembuh.
Tapi anak Nenek melarang Nenek bekerja lagi,” cerita Nek Ijah kemudian setelah
mereka duduk.
“O ya, cucu Nenek juga seumuran Monika,” ujar
Nek Ijah lagi, lalu memanggil nama cucunya.
“Anisaaa...”
Seorang anak dengan rambut dikucir
dua keluar. Tingginya kira-kira sama dengan Monika.
“Anisa,
ayo kasih salam buat Monika, Bapak, dan Ibu Wingky,” ujar Nek Ijah lagi, lalu
meminta Anisa mengajak Monika bermain.
ilustrasi dari Bobo
Anisa
bersikap ramah walau baru mengenal Monika. Pasti Nek Ijah yang mengajarinya
untuk ramah kepada teman baru. Bukannya keluar rumah, Anisa malah mengajak Monika masuk ke kamarnya.
“Istirahatlah dulu. Kamu pasti capek. Tempat
tidurku sederhana. Tapi mudah-mudahan cukup enak untuk meluruskan punggung dan
kakimu...,” ujar Anisa.
“Hmm, kamarmu sejuk dan nyaman sekali,
Anisa. Di mana AC-nya dipasang?” tanya Monika sambil merentangkan tubuh di
kasur.
“Ini udara pegunungan, asli. Mana mampu
kami pasang AC. Desaku ini terletak di lereng gunung.
Tepatnya lereng Gunung Merbabu dan Gunung Merapi,” sahut Anisa.
“Oooo,” Monika manggut-manggut.
Karena kelelahan, ditambah udara yang sejuk,
Monika tertidur pulas. Ia baru terbangun dua jam kemudian. Itupun karena hidungnya
menghirup kepulan wedang jahe.
Yah,
itulah minuman khas di desa Nek Ijah. Minuman penghangat badan. Cocok sekali
diminum saat udara dingin.
Keesokan harinya, mama dan papa harus
pulang. Namun Monika memutuskan untuk berlibur di desa Nek Ijah yang sejuk. Mama
hanya tersenyum karena usulannya diterima Monika.
“Wah sayuran dan buah-buahan di kebun nenekmu
banyak sekali. Kulkasmu besar sekali, ya, untuk menampung semua ini?” tanya
Monika takjub. Ia melihat kebun di kanan kiri rumah Anisa. Ada tanaman kol,
bayam, dan kacang panjang. Di halaman depan, ada pohon pepaya, mangga, dan
jambu biji. Di salah satu sudut kebun, ada juga pohon salak yang buahnya sebentar
lagi ranum.
Tidak
jauh dari rumah Anisa, ada empang tempat memelihara ikan.
“Kami tidak punya kulkas. Selain dijual,
sebagian sayuran dan buah-buahan disantap sendiri. Begitu dipetik langsung
dimasak. Begitu pula ikan di empang. Semua serba ambil milik sendiri,” jawab Anisa.
“Wah nikmat sekali. Semua bahan makanan
segar. Kalau di kota, Mama selalu membeli dari tempat pendingin supermarket. Tapi
di sini benar-benar masak dari pohonnya,” sahut Monika kagum.
“Kalau kami sakit ringan seperti diare, sembelit,
batuk, dan lainnya, Nenek akan meramu sendiri
ramuan dari tanaman obat. Tanaman itu ditanam di sela sayuran dan buah-buahan.
Maklumlah, di sini puskesmas jauh. Semua obat-obatan diambil
dari hasil alam.”
Monika kagum pada kecerdasan Anisa. Ia
merasa liburan kali itu tidak sia-sia. Bahkan ia mendapatkan pengalaman berharga.
Monika
berjanji akan kembali saat liburan tiba tahun depan. Desa Nek Ijah adalah tempat
liburan yang keren. Selain itu, Monika juga ingin mengunjungi Nek Ijah lagi, yang
sudah setia membantu keluarganya.
@@@
Cerpen ini
pernah tayang di Majalah Bobo, terbit 9 Januari 2020
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus