Zaman terus berkembang. Agar tidak tertinggal dengan
bangsa-bangsa lain, Pemerintah perlu menciptakan generasi-generasi yang mampu
menjawab tantangan abad ke-21 ini. Lebih jauh terwujud Indonesia Emas 2045. Kurikulum
Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP) yang menjadikan guru sebagai subjek, kini
diganti dengan Kurikulum 13. Peserta didik sebagai subjek, guru sebagai
fasilitator. Peserta didik menjadi pribadi mandiri dan mampu mememcahkan permasalahan dalam pembelajaran
dengan baik.
Maka agar dapat menjalankan
tugasnya sebagai fasilitator, guru perlu menanamkan pada dirinya terlebih
dahulu keterampilan abad ke-21 yang meliputi: kemampuan beradaptasi dengan
lingkungannya yang dinamis dalam Penguatan Pendidikan Karakter (PPK),
menerapkan keterampilan dasar sehari-hari dengan berliterasi, dan memecahkan
masalah kompleks.
Pendidikan
karakter berhubungan dengan perilaku dan pembiasaan yang termaktub dalam relegius,
nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas. Ada falsafah Jawa yang
mengatakan, guru digugu dan ditiru. Semua
tingkah laku dan tutur kata guru menjadi contoh bagi peserta didiknya. Dalam
kesempatan apapun bersama peserta didik sebaiknya guru menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar sebagai sikap nasionalis. Tidak ada manusia yang
terbebas dari masalah, termasuk guru. Seberat apapun masalah yang sedang dihadapi,
guru tidak boleh membawanya ke kelas. Jika tidak dapat menahan, maka integritas guru bisa tercoreng dengan melampiaskan
amarah di depan peserta didik. Begitupun pembiasaan nilai-nilai pendidikan
karakter lain yang diimplentasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Literasi tidak
hanya baca dan tulis, tetapi juga menyangkut lima literasi dasar lain. Guru mampu
menganilisis berkaitan dengan bilangan, grafik, tabel, dan simbol-simbol dalam literasi
bilangan, menjelaskan, mengevaluasi, menginterpretasi data dan bukti sains, serta
sensitif menangapi fenomena alam dalam literasi sains, mengelola keuangan dengan
baik dalam literasi keuangan, yang tidak kalah penting adalah melek teknologi
sebagai amalan literasi digital. Zaman sekarang masih ada guru yang gaptek. Padahal
dengan menguasai teknologi digital, guru dengan mudah menciptakan pembelajaran
bervariasi, tidak hanya metode ceramah yang membosankan. Tidak membedakan
peserta didik berkaitan dengan ras, suku, dan agama serta menghargai budaya
setempat yang termasuk pengamalan literasi
budaya dan kewargaan.
Sedangkan memecahkan
masalah kompleks berkaitan dengan Membiasakan diri berpikir kritis, di
antaranya membuat Rancangan Pelaksaan Pembelajaran (RPP) yang inovatif. Tidak
ada peserta didik yang bodoh. Melainkan guru kurang mampu mencari model
pembelajaran yang sesuai dengan macam-macam karakter siswa.
Menjadi
guru tidak cukup sebagai pegawai yang menerima gaji sesuai kewajiban mengajar.
Tetapi juga memiliki jiwa layaknya orangtua yang sedang mendidik anak
kandungnya. Dengan demikian akan timbul dari hati untuk memandaikan mereka
dengan penuh ketulusan, tidak semata-mata mentrasfer ilmu. Semoga kelak
terwujud generasi emas 2045 yang berdaya saing dan berjiwa Pancasila.
@@@
esai
ini pernah terbit di Koran Solopos, Minggu 22 Desember 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar