Termasuk ke dalam lima cerpen terpilih adalah sesuatu. Bermula pada sebuah lomba menulis cerpen yang tidak saya ketahui. Karena tahu-tahu, panitia sudah mengumumkan cerpen-cerpen terpilih. Lomba terbagi dalam dua kategori tema, “Pernikahan” dan “Putih Abu-Abu”. Untuk tema “Pernikahan” sudah terpilih sepuluh cerpen yang kelak akan dibukukan. Sedangkan tema “Putih Abu-Abu” baru terpilih lima cerpen. Panitia masih memberi kesempatan kepada para penulis mengirimkan naskahnya untuk mengisi lima kuota yang masih tersisa. Jika tidak ada cerpen yang memenuhi syarat, maka lima cerpen yang sudah terpilih akan digabung satu buku dengan tema “Pernikahan”.
Berawal dari postingan teman yang mengabarkan
cerpennya terpilih sepuluh besar dalam sebuah lomba. Saya terkaget, mengapa ada
lomba menulis saya tidak tahu. Setelah saya selidiki ternyata saya belum
menjalin pertemanan dengan pihak panitia lomba di facebook. Saya penasaran dengan tema “Putih Abu-Abu”. Hasrat hati
ingin mengikuti. Tapi satu sisi saya juga sedang menyiapkan lomba menulis lain.
Dan tenggat waktu kedua lomba tersebut bersamaan. Agar dapat mengikuti
keduanya, saya membuka folder, siapa tahu ada cerpen yang sesuai. Sengaja saya
tidak menulis cerpen baru demi menghemat waktu, pikiran, dan tenaga. Syukurlah,
ada satu cerpen yang sesuai dengan tema “Putih Abu-Abu”.
Cerpen “Tembong” saya tulis beberapa tahun lalu.
Menulis adalah keterampilan. Semakin sering menulis semakin terasah, hasil
tulisan pun semakin sempurna. Begitu pun dengan naskah “Tembong”. Begitu saja
baca, jauh dari sempurna. Beberapa kalimat panjang tetapi tidak jelas maknanya.
Sebagian alurnya ada yang tidak sesuai, meloncat sehingga saya harus
menyesuaikan agar cerita itu runut. Ada bagian yang logikanya tidak nyambung. Pantas saja bila cerpen
tersebut ditolak ketika saya kirim ke media waktu itu. Setelah semua revisi
selesai, barulah saya kirim ke panitia lomba.
Cerpen “Tembong” terinspirasi ketika saya mengukuti
Persami atau Perkemahan Sabtu Mingggu. Menjadi wali kelas adalah salah satu
tugas guru selain mengajar. Kebetulan waktu itu, saya menjadi wali kelas VII.
Ekstrakulikuler pramuka wajib diikuti oleh semua siswa kelas VII. Dan sebagian
kegiatannya adalah mengikuti Persami. Agar kegiatan Persami berjalan kondusif
dan terkontrol terutama bagi setiap peserta, panitia melibatkan wali kelas.
Jadi, semua wali kelas VII wajib menyertai anak didiknya saat Persami.
Tentu saja Persami memberi pengalaman berharga.
Sedikit pun saya tidak pernah mengikuti kegiatan alam, kecuali dulu saat masih
sekolah. Tidur di atas tanah hanya dengan beralaskan tikar. Belum lagi manahan
hawa dingin karena hanya di dalam tenda. Posisi sebagai orangtua bagi siswa binaan membuat
saya tidak bisa tidur. Saya harus mengawasi mereka setiap saat.
Usia
siswa SMP masih labil. Mereka tidak lagi anak-anak. Tetapi juga belum remaja
matang. Terkadang ingin coba-coba. Mereka jauh dari orangtua dan keluarga.
Kebebasan ini dimungkinkan disalahgunakan. Di sela-sela kegiatan, misal malam
hari saat istirahat, mereka melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Seperti
nge-drug, siswa lelaki menjahili
siswa wanita, dan ulah-ulah negatif lain. Itulah peran wali kelas dilibatkan,
tentu saja selain pengawasan dari kakak-kakak pembina. Maka legalah ketika
Persami berakhir pada Minggu siang. Semua kegiatan yang direncanakan berjalan
dengan lancar.
Seperti biasa setiap mendapatkan pengalaman berharga
selalu saya tulis. Maka hasil buah tangan itu berupa cerpen “Tembong” dan termasuk
10 cerpen yang diterbitkan dalam buku antologi cerpen dalam ajang “Lomba
Menulis Cerpen Bersama Uda Agus”. Semakin membuat semangat saya dalam mengikuti
lomba-lomba menulis lain.
@@@
Ooh ini toh jalur ceritanya
BalasHapusIya Mbak. Seru deh pokoknya 😀
Hapus