Bel
pulang baru saja berbunyi. Setelah berdoa, anak-anak berhamburan keluar dari
kelas. Mereka ingin segera pulang.
“Wijay, kamu mau ke mana? Ayo, kita
pulang!” ajak Raka sudah berada di atas sepeda. Begitupun Andi. Wijay menuju ke
belakang. Mungkin dia akan ke kamar mandi.
“Kalian pulang sendiri saja. Aku
akan mengerjakan tugas di sini. Kalian tahu sendiri di rumah adikku banyak. Aku
sering terganggu.”
“Kita bisa belajar bersama. Seperti
biasa di rumahku atau rumah Raka,” saran Andi. Wijay tidak mengindahkan. Dia
terus berjalan menuju ke belakang.
Tidak lama Raka dan Andi pulang dengan mengendarai
sepeda.
Walaupun
tidak satu kelas, Raka, Andi, dan Wijay selalu berangkat dan pulang bersama.
“Kenapa sih akhir-akhir ini Wijay
tidak mau bersama-sama dengan kita lagi?” tanya Raka.
“Aku juga tidak tahu. Tempo hari saat
ibuku pergi ke pasar melihatnya. Dia berangkat pukul setengah enam pagi,”
cerita Andi.
“Ngapain dia berangkat sepagi itu?”
tanya Raka terheran.
Mereka membericarakan Wijay dengan
menyayuh sepeda secara perlahan. Maklumlah, sudah siang, perut keroncongan.
Mereka ingin segera sampai di rumah. Tidak terasamereka sampai di pengkolan,
saatnya berpisah menuju rumah masing-masing.
@@@
Pagi hari mereka sengaja berangkat
awal. Mereka mencegat di depan gang, tetapi dengan sembunyi. Mereka ingin membuktikan
apakah benar Wijay berangkat pagi sekali. Karena biasanya dia harus mengasuh
adiknya yang balita pagi hari. Sehingga Wijay sering tiba di kelas menjelang
bel masuk berbunyi.
“Nah itu Wijay!” tukas Raka saat
melihat Wijay keluar dari gang.
“Wijay... mengapa kamu berangkat
sepagi ini?” tanya Andi.
Wijay terpaksa berhenti. Keduanya
kaget begitu melihat tas yang berada di stang sepeda. Biasanya Wijay membawatas
punggung.
“Aku malu. Aku terpaksa memakai tas
kantung plastik. Itu sebabnya aku berangkat pagi sekali dan pulang paling akhir.
Aku tidak mau menjadi ejekan teman-teman.”
Raka dan Andi manggut-manggut.
“Kalian beruntung. Kedua orangtua
kalian bekerja. Sedangkan ibuku mengasuh ketiga adikku. Sehingga tidak dapat
membantu ayahku yang tukang becak,” ungkap Wijay sedih.
Tidak
hanya Wijay, Raka dan Andi sebetulnya juga sedih. Beberapa kali tas Wijay lepas
jahitannya. Ibunya menjahit. Tetapi kali ini tidak dapat dipakai lagi. Keduanya
mengetahui keluarga Wijay tidak mampu. Kemudian Raka, Wijay, dan Andi mengayuh
sepeda bersama menuju ke sekolah.
Pada saat istirahat Raka dan Andi
sengaja menemui Wijay. Wijay diajak ke taman. Keduanya membicarakan rencana
ingin menolong Wijay agar dapat membeli tas. Mulanya Wijay menolak. Tapi
akhirnya dia menerima saran kedua sahabatnya. Yang terpenting dia dapat
memiliki tas baru.
Lawang Sewu salah satu tempat wisata
di Kota Semarang. Tempat itu selalu ramai dikunjungi turis, baik lokal maupun
mancanegera. Selain suvenir, dijual pula makanan khas.
“Beli lumpia, Mbak. Ini makanan khas
Semarang. Satu buah cuma tujuh ribu lima ratus rupiah. Mbak bisa pilih, yang
goreng atau basah,” tawar Andi kepada dua orang gadis yang duduk di pinggir
lokasi wisata. Mereka sedang beristirahat setelah berjalan-jalan.
“Beli dua.” Masing-masing mengambil
satu buah dengan tambahan cabe rawit.
“O, iya, kalau Mbak butuh minuman,
saya bisa usahakan es teh,” tambah Andi.
“Wah, terima kasih, Dik, saya pesan
es teh dua,” jawab salah satu gadis itu dengan senang. Kemudian Andi
menghampiri Wijay.
Wijay
tampak membagi uang dengan Raka. Kemudian mereka menuju ke tempat kedua gadis
tadi.
“Ini,
Mbak, teman saya yang jualan minuman.” Kedua gadis itu pun mengambil dua cup berisi es teh dalam nampan.
“Selain lumpia, Semarang juga
terkenal dengan wingko babat. Ada rasa stroberi, cokelat, durian, dan
original,” tawar Raka.
“Rasa stoberi?” Karena penasaran
mereka pun membeli. Mereka membayar semua makanan dan minuman yang dibeli
secara bersamaan.
Begitulah kegiatan Andi, Wijay, dan
Raka pada hari Minggu. Mereka saling membantu.
Sore tiba. Wijay menghitung uangnya
yang harus disetor ke Bu Mimin. Beliau penjual nasi rames. Tapi juga menjual minuman
es teh dalam cup. Setiap cup Wijay mendapatkan keuntungan lima
ratus rupiah. Sedangkan Andi membantu ibunya berjualan lumpia. Sementara Raka
membantu ibunya berjualan wingko babat. Mereka menyetor setiap kali laku.
“Terima kasih, kalian sahabat yang
baik. Hari ini aku dapat laba dua puluh empat ribu. Aku yakin, selama beberapa
minggu ke depan, uangku terkumpul banyak sehingga bisa membeli tas baru.”
“Sahabat itu tidak hanya bersama
saat senang, tapi dalam susah pun harus ikut merasakan dan membantu,” ungkap
Andi. Raka mengiyakan.
Ketiganya pulang ke rumah dengan
hati gembira.
@@@
Cernak
ini pernah dimuat di harian Lampung Post, Minggu 24 Februari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar